Tatap Muka Hanya untuk Zona Hijau

- Senin, 3 Agustus 2020 | 11:46 WIB

SURAT keputusan bersama dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melarang pembukaan sekolah atau lembaga pendidikan. Tidak ada kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka.

“Saya sebagai dokter juga sebagai dosen tentu berpegang pada aturan surat keputusan itu. Dan empat kementerian itu sepakat jika sekolah hanya boleh dibuka untuk zona hijau,” ujar dr Swandari Paramita, dosen Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Mulawarman (Unmul).

Sementara itu, Samarinda masih dalam zona oranye. Sehingga Unmul dan termasuk seluruh perguruan tinggi se-Indonesia juga memberlakukan pengajaran jarak jauh. Tidak ada yang zona hijau. “Indikator zona hijau yakni tidak ada penambahan kasus selama 3–4 minggu berturut-turut. Kemudian sekolah bisa dibuka, itu pun bertahap dari tingkat atas dulu,” jelasnya.

Disebutkan masa tiga bulan setelah pemerintah misal mengumumkan wilayahnya zona hijau, sekolah tingkat SMA boleh dibuka. Menyusul tingkat SMP tiga bulan kemudian hingga SD. Sedangkan pada tingkat TK dan PAUD pelan-pelan dibuka. “Untuk yang tingkat kecil di atas enam bulan,” kata Swandari.

Jika masih ada orangtua yang kukuh ingin anaknya tetap sekolah seperti biasa, meski dengan aturan bergiliran. Swandari mengatakan mesti ada risiko yang dipertaruhkan. Siapa bisa menjamin murid yang bersekolah itu bebas dari Covid-19.

Diceritakan Swandari, di Unmul melakukan rapid test dan beberapa civitas akademika termasuk mahasiswa menunjukkan hasil reaktif. Belum lagi mahasiswa yang dimaksud sedang melakukan kuliah kerja nyata (KKN). “Betapa ribetnya kami harus melacak jika mahasiswa itu turun ke lapangan. Bagaimana jika itu terjadi di tingkat bawah?” imbuhnya.

“Saya baru ngomongin rapid test yang reaktif, belum hasil swab test atau tes lain. Apakah orangtua yang ngeyel anaknya tetap sekolah itu siap semisal nanti nama anaknya muncul sebagai penambahan kasus harian?” tambah Swandari.

Dikatakannya, semua kembali ke sekolah apakah siap membuka sekolah. “Itu melanggar banyak aturan loh. Berani enggak menanggung risiko jika nanti anak didiknya di-rapid hasilnya reaktif?” ujar dokter yang juga Sekretaris Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kaltim tersebut.

Dia memaklumi jika menjadi pekerjaan tambahan bagi orangtua saat anak belajar di rumah. Bekerja, mengurus rumah dan mendampingi anak belajar. “Kalau saya mengutip dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), pilih mana antara capek mengajari anak di rumah, atau capek menunggu anak yang sakit karena Covid-19?” ungkapnya.

Diungkapkan jika data kasus di Kaltim, termasuk anak-anak 10 tahun ada yang positif. Masuk pusat karantina dan dirawat. Tanpa gejala tapi hasil swab positif. Diceritakan dari rekan sejawat, bahwa butuh perjuangan untuk mengambil swab test anak kecil. “Itu tidak gampang,” kata Swandari.

Masih jauh perjalanan untuk memutuskan pembukaan sekolah. “Kami saja masih setengah mati mengurus Covid-19. Kasusnya naik terus, bisa-bisa jadi merah zonanya. Untuk buka sekolah itu prioritas belakang,” sebutnya. (rdm/ndu/k8)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Puasa Pertama Tanpa Virgion

Minggu, 17 Maret 2024 | 20:29 WIB

Badarawuhi Bakal Melanglang Buana ke Amerika

Sabtu, 16 Maret 2024 | 12:02 WIB
X