JAKARTA- Penyebaran virus COVID-19 di berbagai daerah belum kunjung terkendali. Sebaliknya, jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 sudah lebih dari 100 ribu orang. Sebagian besar masyarakat sendiri menghendaki Pilkada ditunda. Aspirasi publik itu tercermin dari dua survei terakhir yang dilakukan dua lembaga berbeda. Survei Indikator Politik mencatat 63,1 persen responden yang ingin pilkada ditunda. Sementara survei Charta Politika menyebut 54,2 persen yang tidak sepakat Pilkada tahun ini.
Lantas, adakah opsi untuk kembali menunda? Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar memastikan tidak ada rencana melakukan penundaan. Dia menjelaskan, keputusan politik pemerintah bersama DPR dan KPU sudah bulat untuk menggelar Pilkada 9 Desember.
"Saya tegaskan tidak ada pikiran untuk menunda. Pilkada tetap 9 Desember 2020 dan tahapan sudah berjalan," ujarnya di Kantor Kemendagri, Jakarta, (29/11).
Bahtiar mengakui, kasus COVID-19 belum turun. Namun dia menilai pelaksanaan Pilkada bisa dijadikan momentum untuk menuntaskan penyebaran COVID-19. Saat ini, jajaran penyelenggara ad hoc bekerja dengan protokol kesehatan sekaligus menjadi agen mensosialisasikannya.
Di sisi lain, anggaran Pilkada yang besar juga akan menyebar hingga tingkat desa. Honor petugas dan pemenuhan kebutuhan logistik akan merangsang ekonomi. "Ini seperti stimulas yang secara tidak langsung," imbuhnya. Selain itu, pemerintah mendorong ada kompetisi gagasan antar calon menuntaskan penyebaran COVID-19.
Sementara itu, Ketua KPU RI Arief Budiman mengatakan, dari aspek regulasi, peluang penundaan bisa saja dilakukan. Sebab, UU 2 tahun 2020 tentang Perppu Pilkada menyebut jika tidak dapat dilakukan Desember, maka bisa ditunda. Namun dari aspek teknis, Arief menilai akan banyak yang dikorbankan ketika kembali ditunda dan mengulang sejumlah tahapan di kemudian hari. "Energi bangsa ini sudah dikeluarkan terlalu besar," ujarnya.
Dia mencontohkan, saat dilakukan penundaan pada Maret lalu, jumlah anggaran yang digunakan sudah sekitar 1 triliunan. Namun sebagian hangus karena perlu mengulang lagi. "Misal anggaran sosialisasi pilkada 23 september, dengan diubah kan jadi hangus," imbuhnya.
Saat ini, tahapan berhasil ditata ulang dan berjalan dua tahapan besar yakni verifikasi berkas dukungan calon perseorangan dan pencocokan dan penelitian data pemilih. Jika diulang, maka akan terjadi potensi sebagian tahapan yang hangus. Oleh karenanya, dia menilai harus tetap lanjut. Yang terpenting penerapan protokol kesehatan dipenuhi dan dipatuhi.
Anggota Bawaslu RI Mochamad Afifuddin menambahkan, jika situasi masih seperti sekarang dan tidak ada peningkatan yang darurat, pilkada masih bisa dilanjutkan. Hanya saja diakuinya, prasyarat pemenuhan protokol kesehatan harus dipenuhi dengan baik.
Diakuinya, saat ini kebutuhan protokol kesehatan belum bisa dipenuhi secara optimal. Bahkan dari pantauan bawaslu, kerap ada aksi rebutan antara jajaran KPU dan Bawaslu untuk mendapat jatah alat pelindung diri dari gugus tugas daerah. "Kecenderungannya siapa yang punya akses hubungan lebih baik dengan gugus tugas akan dapat lebih cepat," ujarnya.
Keterpenuhan alat protokol kesehatan, kata dia, memberi kerumitan sendiri. Mengingat pengadaannya yang tidak mudah. "Kita sih lebih seneng di sediakan langsung pakai," tuturnya.
Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah mendorong pemerintah untuk komitmen dalam pemenuhan protokol kesehatan. Terlebih, sejak awal pemerintah yang mendorong Pilkada tetap dilakukan tahun ini. Dia menjelaskan, keberhasilan negara-negara lain menggelar Pemilu di masa pandemi yang sering disebut-sebut pemerintah perlu dilihat juga prosesnya. "Di Korea Selatan lihat bagaimana persiapan itu dibarengi persiapan pemerintah menanggulangi pandemi," kata dia. (far)