Jumlah Petani Terus Turun, Minat Petani Muda Kian Menipis

- Selasa, 28 Juli 2020 | 12:14 WIB
Petani di Kaltim didominasi kaum tua. (IZ)
Petani di Kaltim didominasi kaum tua. (IZ)

Pertanian menjadi salah satu sektor usaha yang menyedot banyak tenaga kerja di Kaltim. Sayang, generasi milenial justru belum tertarik terjun menjadi petani.

SAMARINDA- Pertanian berhasil menyumbang 23,08 persen dari total angkatan kerja di Kaltim yang berjumlah 1,99 juta jiwa pada 2020. Capaian ini tercatat sebagai yang terbesar kedua setelah perdagangan atau setara 428.495 orang. Jumlah angkatan kerja Kaltim sendiri meningkat 4,94 persen (year on year/yoy) atau terjadi penambahan sebesar 93,80 ribu jiwa.

Plt Kepala Dinas Pangan Tanaman Pangan dan Hortikultura (DPTPH) Kaltim H Dadang Sudarya mengatakan, serapan tenaga kerja di sektor pertanian ini masih belum optimal. Sebab generasi muda justru masih enggan terjun sebagai petani. Juga belum optimalnya kelembagaan petani, kondisi organisasi petani yang lebih bersifat budaya dan sebagian besar berorientasi hanya untuk mendapatkan fasilitas pemerintah.

Dadang menyebutkan, saat ini juga masih banyak petani yang belum diarahkan untuk memanfaatkan peluang ekonomi melalui pemanfaatan aksesbilitas terhadap berbagai informasi teknologi, permodalan dan pasar bagi pengembangan usaha pertanian.

“Ini mejadi tantangan kita bersama. Bagaimana ke depan kelembagaan petani ini mampu merevitalisasi diri dari kelembagaan pembinaan teknis dan sosial menjadi kelembagaan yang berfungsi sebagai wadah pengembangan usaha yang berbadan hukum dan berintegrasi dalam koperasi yang ada di pedesaan,” katanya, Senin (27/7).

Selain itu, pihaknya juga mengakui semakin berkurangnya minat generasi muda menjadi petani. Merosotnya luas lahan garapan fungsional sebagai salah satu penyebab keengganan generasi muda dalam berusaha tani, yang mengakibatkan jarak antara pemuda dengan lahan pertanian semakin jauh.

Proses regenerasi petani pun sulit berjalan, sehingga pertanian tetap didominasi oleh generasi tua yang tentu mempunyai implikasi bahwa pertanian berjalan ditempat dan sulit melakukan perubahan yang mendasar. “Mungkin ini salah satu yang menyebabkan kondisi pertanian kita mengalami penurunan,” jelasnya.

Padahal dengan meningkatnya tuntutan daya saing bagi masyarakat tani di pasar regional dan pasar global, petani dituntut mengubah pola pikir dan perilaku dari petani tradisional menjadi petani modern, mandiri dan berwawasan agribisnis. Untuk itu jumlah dan kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), Petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan – Pengamat Hama Penyakit (POPT-PHP), Pengawas Benih Tanaman (PBT) perlu ditingkatkan melalui pendidikan atau pelatihan.

“Untuk mengatasi itu, kita sudah melakukan peningkatan penyuluhan dan pelatihan pertanian. Dengan arah kebijakan peningkatan kapasitas dan kelembagaan penyuluhan pendampingan petani,” ujarnya.

Sulitnya mencari petani muda saat ini menjadi salah satu pemicu penurunan jumlah petani. Padahal secara angkatan kerja sangat banyak. Menurutnya, petani muda tidak perlu bercocok tanam, namun cukup mengembangkan pertanian dari sisi hilirisasi. Saat ini tak hanya ingin mencetak petani muda untuk sentra produksi namun untuk hilirisasi pertanian.

Contohnya, menjadi wirausaha muda dalam kegiatan pengembangan pangan dan industri hilirnya. Bagaimana petani muda ini memanfaatkan seluruh bisnis turunan pangan. “Ini tidak hanya berlaku untuk pertanian namun sektor lain seperti perternakan, perikanan, dan lainnya yang juga membutuhkan tenaga-tenaga anak muda. Sehingga hasil pertanian kita tak hanya dijual mentah, namun memiliki bisnis turunan,” pungkasnya. (ctr/ndu)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ekonomi Bulungan Tumbuh 4,60 Persen

Kamis, 28 Maret 2024 | 13:30 WIB

2024 Konsumsi Minyak Sawit Diprediksi Meningkat

Selasa, 26 Maret 2024 | 12:21 WIB
X