Pembelajaran jarak jauh (PJJ) masih perlu banyak perbaikan. Sebab, tidak semua daerah memiliki kemudahan yang sama untuk mengadakan PJJ.
BAYU PUTRA, Jakarta
KOMISI Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan berbagai macam keluhan dalam PJJ fase dua. Kesulitan tak hanya dialami siswa tapi juga guru.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyatakan penjadwalan jam belajar yang lama dan berbagai tugas sekolah yang berat masih dirasakan para siswa. Sebab, belum ada penyesuaian dari Kurikulum 2013. “Beban guru, siswa, dan orangtua sebagai pendamping anak belajar belum dikurangi,” katanya kemarin (26/7).
PJJ merupakan hal baru bagi anak, orangtua, dan sekolah. Dari survei yang dilakukan KPAI, 77,8 persen responden siswa mengeluhkan kesulitan belajar dari rumah. Orangtua juga ikut tertekan saat mendampingi anak-anaknya melakukan PJJ secara daring. “Beban orangtua dan anak saat PJJ dapat diringankan jika Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) segera memberlakukan kurikulum adaptif yang sudah disederhanakan,” tutur Retno.
Selain itu, KPAI menyelenggarakan survei yang dilaksanakan pada 8–14 Juni. Sampel responden anak sebanyak 25.164 orang menunjukkan bahwa terjadi kekerasan psikis dan fisik selama pandemi.
Bentuk kekerasan fisik terhadap anak selama pandemi di antaranya dicubit, dipukul, dijewer, dijambak, ditarik, dan bahkan ada yang diinjak. “Sedangkan bentuk kekerasan psikis terhadap anak selama pandemi di antaranya, dimarahi, dibandingkan dengan anak lain, dibentak, dipelototi, dihina, dan diancam,” ujar Retno.
Dia merekomendasikan agar Kemendikbud segera menyederhanakan kurikulum di semua jenjang pendidikan. Selain itu, pemerintah pusat melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika diminta segera membuat kebijakan penggratisan internet selama PJJ pada enam bulan ke depan.
“Kami mendorong sekolah memetakan anak-anak yang bisa melakukan pembelajaran daring dan yang hanya bisa luring atau yang bisa luring dan daring,” ungkapnya. Sehingga sekolah menyiapkan penjadwalan pembelajaran dan membuat modul pembelajaran untuk anak-anak yang tidak bisa daring. Terutama untuk para siswa SMK yang memerlukan praktik keterampilan.
Lalu bagaimana dengan pengalaman para guru selama PJJ kali ini? Guru SMP 1 Nagrek Iwan A Priyana menuturkan, dalam PJJ, guru dituntut harus punya inovasi. Iwan menceritakan, pada awal PJJ dia melakukan pemetaan kondisi siswa. Terutama terkait fasilitas untuk berselancar di dunia maya. “Kebetulan dapat arahan Dinas Kabupaten Bandung untuk melakukan guru kunjung,” ungkapnya kemarin (26/7).
Setelah pemetaan, dia punya banyak informasi kendala siswa. Salah satunya soal sinyal. Di wilayahnya banyak sekali pegunungan. Selain itu, ada pula permasalahan ekonomi yang menyebabkan tidak tersedianya handphone untuk anak. “Waktu ujian, saya galang dana dan dibelikan handphone. Satu handphone digunakan bergantian,” ungkapnya.
Untuk pembelajaran biasa, Iwan membuat materi yang dibedakan berdasar kondisi muridnya. Ada materi untuk siswa yang daring penuh, yang kesulitan sinyal atau kuota, yang memiliki handphone tapi digunakan bersama anggota keluarga lain, dan yang tidak memiliki handphone sama sekali. Jadi, dia mengombinasikan antara pembelajaran online dan offline.