Catatan
Herdiansyah Hamzah
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
PENDAFTARAN calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), harus memenuhi syarat minimal dukungan beserta persebarannya. Ketentuan mengenai syarat minimal dukungan bagi calon perseorangan ini, diatur dalam Pasal 41 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Adapun dukungan tersebut dibuat dalam bentuk “surat dukungan” yang disertai dengan fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) elektronik, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 41 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dukungan terhadap calon perseorangan ini, tentu saja harus melalui proses verifikasi, baik verifikasi secara administrasi, maupun verifikasi secara faktual.
Verifikasi ini dilakukan sebagai bentuk upaya validasi terhadap kebenaran dukungan yang diberikan. Verifikasi administrasi, dilakukan dengan cara mencocokkan dan meneliti (coklit) berdasarkan nomor induk kependudukan (NIK), nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, dan alamat dengan mendasarkan pada KTP-el.
Sedangkan verifikasi faktual, dilakukan dengan metode sensus dengan menemui langsung setiap pendukung calon (door to door). Pertanyaan pentingnya adalah, bagaimana jika ditemukan dugaan pemalsuan terhadap daftar dukungan? Apakah dugaan pemalsuan tersebut dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana pilkada? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu ketelitian dalam membaca norma yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 185A ayat (1) UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, menyatakan secara eksplisit bahwa, “Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 36 juta dan paling banyak Rp 72 juta”.
Mari kita urai masing-masing unsur dalam pasal ini secara sederhana. Dalam rumusan pasal ini, terdapat unsur “setiap orang” dan “dengan sengaja”, yang dikategorikan sebagai unsur subjektif. Dan unsur “memalsukan daftar dukungan calon perseorangan”, yang dikategorikan sebagai unsur objektif. Berikut adalah penjelasan sederhana terhadap pasal tersebut:
Pertama, unsur “setiap orang” tidak hanya kita maknai an sich sebagai orang perorangan yang melakukan perbuatan saja (plegen). Namun juga bisa diperluas menjadi subjek hukum lain, yang memiliki irisan dengan peristiwa tersebut, atau yang lazim disebut dengan delik penyertaan (deelneming). Baik kepada mereka yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen), yang turut melakukan perbuatan (medeplegen), yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken), dan yang membantu perbuatan (medeplichtige).
Jadi tinggal mengurai peran dari masing-masing subjek hukum yang terlibat dalam peristiwa hukum. Dalam perkara dugaan pemalsuan daftar dukungan ini, harus diurai siapa yang diduga memalsukan daftar dukungan, atas perintah siapa, siapa saja yang turut serta, atas bujuk rayu siapa, dan siapa saja yang turut membantu kejahatan ini.
Kedua, unsur “dengan sengaja” merupakan unsur subjektif yang bertalian dengan niat pelaku. Jadi dilakukan berdasarkan niat (by intention), yang sudah direncanakan sebelumnya. Dalam delik ini, tidak berlaku istilah kebetulan, termasuk culpa atau kealpaan. Ketiga, unsur “memalsukan daftar dukungan”, bukan dimaknai sebatas “tiruan” tetapi juga termasuk di dalamnya adalah membuat daftar dukungan yang seolah-olah sah sejak saat disampaikan kepada KPU.