Suara ketukan keyboard laptop terdengar dari ruang kelas IV SLB Untung Tuah, Jalan Sam Ratulangi, Gunung Panjang, Samarinda Seberang, kemarin (23/7). Di hadapan layar, Muhammad Usliansyah serius membagikan materi kepada anak didiknya lewat aplikasi WhatsApp (WA).
SEJAK pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) merebak Maret lalu dan institusi pendidikan memberlakukan sistem belajar dalam jaringan (daring), keseharian Usliansyah hanya mengajar lewat komputer dan handphone (HP). Sesekali, dia menerima kunjungan orangtua siswa untuk bertukar modul belajar.
Usliansyah mengajar di kelas IV, dengan jumlah siswa tujuh orang. Mereka adalah penyandang tunagrahita dan down sindrom. Untuk metode pelajaran, biasanya melalui aplikasi Zoom. Sedangkan untuk tugas sekolah, disampaikan melalui WhatsApp dan aplikasi ClassDojo, karena lebih efektif melatih sensor motorik anak.
"Pada sekolah inklusi kami lebih banyak mengajarkan kebiasaan kepada anak, misalnya untuk beribadah atau mengerjakan pekerjaan rumah," ucapnya.
Soal keefektifan kelas daring, dia mengaku kurang karena untuk penilaian perilaku anak sebagai komponen penilaian kelas menjadi kendala. Selama ini, pihaknya melakukan penilaian dengan melihat kemampuan anak mengulang tugas yang sudah diberikan. "Kalau daring atau dari rumah kan susah juga, karena lewat aplikasi," ucapnya.
Adanya kunjungan ke siswa, Usliansyah yang sudah mengajar sejak 1999 itu tidak memberlakukan. Hal itu ditakutkan dirinya sebagai tamu berpotensi membawa virus, terlebih kondisi kekebalan tubuh anak berkebutuhan khusus cukup rentan.
Bahkan, ada pula orangtua yang sempat memaksa agar anaknya tetap bersekolah, karena perilaku berubah lebih aktif saat di rumah. "Kami sarankan anggota keluarga yang cenderung lebih dekat untuk membantu pengajar. Misalnya jika sang anak lebih dekat ke kakaknya, maka sang kakak yang diberikan pemahaman materi dari guru kelas untuk diajarkan kepada adik atau saudaranya," ujarnya.
Dia menyebut, kunci keberhasilan belajar via daring adalah konsistensi orangtua untuk membimbing anaknya mengerjakan tugas-tugas lewat modul yang diberikan, atau mendampingi saat anak tengah belajar di rumah. Kendalanya, tidak semua orangtua bisa konsisten menemani sesuai jadwal yang ditetapkan. Misalnya, pukul 10.00 Wita, belajar selama satu jam, biasanya diikutinya hanya lima anak. "Sisanya akan ikut dalam sesi sore, tetapi biasanya tidak banyak," ujarnya.
Ada pula kendala bagi mereka yang tidak mempunyai smartphone. Menyiasatinya, orangtua akan diminta datang ke sekolah tiap dua minggu sekali untuk membawa modul pengajaran. "Harapan akhirnya pandemi bisa selesai hingga akhir tahun, sehingga 2021 siswanya sudah bisa bertatap muka sepenuhnya," tutup dia.
SLB Untung Tuah dihuni 45 siswa, dari SD hingga SMA, dengan jumlah guru hanya 13 orang termasuk kepala sekolah. Berdiri sejak 1989, di bawah naungan Yayasan Kesehatan Sosial, sekolah itu masih eksis beroperasi di tengah keterbatasan SDM, dan dukungan peningkatan pembangunan. (dns/dra/k8)