JAKARTA- Upaya Evi Novida Ginting Manik untuk melawan pemberhentiannya dari jabatan Komisioner KPU RI mendapat titik cerah. Sebab, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan sekaligus membatalkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34/P Tahun 2020 tentang pemberhentiannya sebagai komisioner KPU RI.
"Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tergugat Nomor 34/P Tahun 2020 tanggal 23 Maret tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 atas nama Evi Novida Ginting Manik," bunyi putusan PTUN dilansir dari laman resminya, (23/7).
Keppres tersebut merupakan tindaklanjut atas putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang telah memberhentikan Evi pada 18 Maret 2020. Saat itu, DKPP menilai Evi melanggar etik dalam kasus penentuan caleg terpilih di Kalimantan Barat.
Selain mencabut Keppres, PTUN Jakarta juga mewajibkan Presiden untuk merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan Evi sebagai anggota KPU RI. Kemudian menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 332.000,00,".
Hingga kemarin sore, PTUN Jakarta belum mengupload salinan putusan tersebut. Saat dikonfirmasi, Evi Novida Ginting Manik menyambut baik putusan tersebut. "Alhamdulillah ya dikabulkan seluruh permohonan," ujarnya.
Keputusan itu, sesuai dengan harapannya untuk mengembalikan nama baik dan haknya sebagai anggota KPU RI. Diakuinya, gugatan kepada Presiden hanya memenuhi unsur administrasi. Sebab, putusan DKPP ditindaklanjutinya dengan putusan presiden.
"Karena SK presiden itu adalah tindak lanjut dari putusan DKPP. Jadi kan putusan DKPP itu belum konkrit kalau tidak dikeluarkan SK Presiden," imbuhnya.
Sementara itu, Ketua DKPP Muhammad mengatakan, putusan tersebut tidak menganulir putusan DKPP melainkan Keppres. "Yang diputuskan PTUN adalah mengoreksi putusan Presiden," ujarnya.
Atas dasar itu, Muhammad mengklaim pemberhentian Evi masih berlaku. Apalagi, putusan PTUN Jakarta baru tingkat pertama dan belum inkrah. Dia menyebut, masih ada peluang bagi presiden melakukan banding atas putusan tersebut. "Itu tergantung Presidennya," imbuhnya.
Mantan Ketua Bawaslu itu berharap, presiden perlu meluruskan paradigma pengadilan TUN terkait peradilan etika kepemiluan. Dalam UU Pemilu, pemerintah bersama DPR sudah sepakat membentuk DKPP sebagai peradilan etika yang diberi wewenang memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran etika penyelenggara. Di mana UU mengatur vonis DKPP bersifat final mengikat.
Nah, terhadap amar amar putusan PTUN yang mengoreksi vonis DKPP, maka harus diluruskan. "Perlu diluruskan oleh Presiden sebagai representasi Pemerintah yang ikut merumuskan noma UU tentang kelembagaan DKPP," pungkasnya. (far)