14,5 Jam Mengarungi Sungai dan Laut Menuju Pulau Birah-Birahan

- Kamis, 23 Juli 2020 | 13:09 WIB

Hamparan pasir putih, air laut biru sebening kaca, dan lambaian daun kelapa tampak dari kejauhan. Deretan pohon perepat kukuh menjaga pulau. Jembatan dari ulin menanti kapal yang merapat. Masih ada pulau yang menyamai keindahan Pulau Derawan, Kaniungan, Maratua, Biduk-biduk, serta Sangalaki.

Uways Alqadrie, Samarinda

Takjub! Inilah Pulau Birah-Birahan yang terletak di seberang Pulau Manubar. Masuk Kecamatan Sandaran, hanya seluas 15 hektare. Berhadapan dengan Selat Makassar. Tak jauh dari Palu, hanya sekitar tujuh jam perjalanan. Bahkan radio yang bisa didengar berasal dari Palu.

Sejak 1961 pulau ini dibeli Achmad Dewer dari keluarga Aji Bambang. Harga beli ketika itu sebesar Rp 1 juta. Uang yang sangat banyak untuk masa itu. Ada 5 ribu pohon kelapa produktif yang menarik hati Achmad sebelum memutuskan membeli pulau tersebut. Hasil kopra bisa dijual ke negeri tetangga, Malaysia, tepatnya Tawau, untuk membayar pembelian pulau yang ditenggat harus selesai dalam setahun.

Ribuan pohon kelapa tersebut kini tinggal 500 yang bisa dinikmati. Anak-anak keluarga almarhum Achmad Dewer (meninggal dunia 1997 silam) telah berusaha menanam kembali kelapa untuk mengganti pohon yang mati termakan usia.

Rombongan KM Bosna 20 yang membawa pemancing dari Samarinda, akhirnya tiba juga di pulau setelah perjalanan melelahkan selama 14,5 jam. Berangkat dari Samarinda pukul 24.00 Wita (15/7), akhirnya mendarat di dermaga pukul 16.30 Wita. Perjalanan luar biasa, mengingat kapal yang ditumpangi dahulu adalah kapal tarik kayu log. Kapal yang kukuh, bodi kapal sebagian besar kayu ulin. Namun, struktur kapal memang untuk sungai, bukan lautan.

Sepanjang perjalanan terasa menyenangkan. Mengarungi Sungai Mahakam, melewati perairan Muara Berau, menyusuri sepanjang pantai di Muara Badak, Bontang, Sangatta, hingga akhirnya menembus tempat tujuan. Pulau Birah-Birahan memang kalah mentereng dibandingkan Pulau Derawan, Biduk-biduk, Kaniungan, serta Sangalaki. Namun, pulau tersebut akrab bagi pemancing dan pencari ikan dari Kutim dan Bontang. Menjadi tempat singgah kapal ketika gelombang tinggi melanda perairan di sekitar pulau.

Begitu kapal merapat ke dermaga, kelapa menjadi tujuan pertama rombongan. Seperti janji salah satu anak ahli waris pemilik pulau tersebut, Bachtar Ade (45). Ada ratusan pohon kelapa siap dipanjat begitu sampai pulau. Beruntung sekali di antara anggota rombongan ada yang mempunyai keahlian memanjat pohon. Akhirnya, kesampaian juga hasrat menenggak air kelapa di Pulau Birah-Birahan. Inilah kenikmatan yang bisa didapatkan kala jauh dari hiruk-pikuk perkotaan dan urusan pekerjaan.

“Alhamdulillah sampai juga ke pulau ini setelah perjalanan mengarungi sungai dan laut,” kata Hosen, pengusaha ponton kepada Kaltim Post.

Sepanjang pinggir pulau dipenuhi puluhan pohon perepat, berfungsi mencegah abrasi. Pohon perepat atau pidada putih adalah sejenis pohon penyusun hutan bakau. Pohon berbatang besar tersebut biasa didapatkan di bibir pantai yang dasarnya berbatu karang atau berpasir. Terumbu karang masih terjaga di bibir pantai bagian utara. Terjangan ombak telah menghancurkan sebagian besar terumbu karang.

Meskipun begitu, bibir pantai masih menjadi tempat menarik untuk memancing bagi wisatawan lokal yang tak ingin memancing menggunakan kapal. Bagian timur (dekat dermaga), sebagian besar terumbu karang telah rusak. Pemancing sudah mengerti, kawasan tersebut pastilah bukan spot menarik untuk melemparkan kail.

Kesan nyaman sudah terasa meski baru setengah jam berada di pulau. Ada kursi di depan rumah kayu, menjadi menyenangkan menikmati angin laut. Dua gazebo berada di ujung kanan dan kiri pantai. Rombongan menempati bangunan yang semula dibangun untuk musala, sumbangan Pemkab Kutai Timur pada 2015. Di sebelahnya, ada satu bangunan berisi dua kamar dan dua WC yang juga sumbangan pemkab, dibangun 2019 lalu. Ya, pemkab telah menaruh perhatian pada pulau tersebut dengan membangun beberapa fasilitas penunjang, agar pulau tersebut bisa menjadi destinasi wisata andalan bagi Kutim pada masa mendatang.

Masih asli dan tidak terawat. Ini kesan pertama ketika rombongan mendarat di pulau. Hanya ada pohon kelapa di pulau tersebut. Tak ada warung menjajakan makanan dan sembako, apalagi tetangga. Pulau tak memiliki penghuni tetap. Ahli waris pemilik pulau secara bergantian menjaga. Batang pohon besar dan pohon patah terlihat di beberapa bagian pantai.

“Setiap giliran jaga ada 2–4 orang yang menetap selama satu bulan. Giliran saya Agustus mendatang. Kami kekurangan tenaga dan biaya untuk merawat pulau ini,” kata Bachtar yang menemani wartawan Kaltim Post dan rombongan menuju pulau tersebut.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X