Bambang Iswanto
Dosen Institut Agama Islam Negeri Samarinda
PEMBERITAAN tentang artis HH sebagai korban dalam kasus prostitusi online, membuat saya penasaran. Bukan karena ini kasus pertama. Sudah ada beberapa kasus serupa yang menjadi viral. Seakan sudah menjadi rahasia umum bahwa memang ada prostitusi high level yang melibatkan artis.
Rasa penasaran saya muncul karena yang disorot hanya artisnya. Subjek prostitusi lawan mainnya jarang yang terekspos. Awalnya, nama artis biasanya samar dengan inisial, lambat tapi pasti akan terungkap ke publik siapa pemilik inisial.
Berbeda dengan subjek hukum laki-laki yang menggunakan jasa sang artis. Lambat laun bukannya tambah jelas siapa pelakunya, namun berangsur hilang. Entah mungkin karena tertindis pemberitaan sang artis, atau memang karena sengaja disembunyikan.
Dalam logika sederhana, dalam kasus prostitusi online, harusnya paling sedikit ada dua pelaku yang terjerat dan posisinya sama yaitu penyedia jasa dan pengguna jasa. Namun, yang muncul ke permukaan hanya penyedia jasa, dalam hal ini si artis. Penggunanya abstrak.
Namanya juga high level, pemainnya pasti bukan kaleng-kaleng. Baik penyedia jasa maupun penggunanya dari kalangan high class semua. Pesohor artis tentu bagian dari kelas atas karena ketenarannya. Pengguna jasa juga pasti kalangan tajir yang punya stok harta berlimpah.
Untuk sekadar mendapatkan kenikmatan satu malam, pengguna mengeluarkan sejumlah uang. Sebelum kasus itu, konon kabarnya pengguna berani membayar Rp 180 juta untuk satu malam. Namun, untuk kasus yang melibatkan artis HH yang baru terjadi, biaya jasanya Rp 20 juta.
Mustahil ada orang “kalangan bawah” berani menabung dalam waktu lama atau pekerja yang punya penghasilan pas-pasan berani memakai jasa prostitusi dengan bayaran tinggi. Bayaran tersebut bisa dipakai selama setengah tahun untuk hajat hidup dia dan keluarganya. Bukan dipakai semalam untuk hajat syahwat pribadi. Bisa saja, karena berasal dari kalangan atas itulah yang menyebabkan namanya menguap di tengah jalan.
Tereksposnya hanya artis dalam kasus prostusi online di Medan, menunjukkan adanya ketidakadilan dan bias gender. Seakan-akan kasus prostitusi yang salah selalu perempuan. Padahal jelas sekali pelakunya adalah dua pihak yaitu perempuan dan pria. Seharusnya pria juga harus mendapatkan sanksi, baik moral maupun hukum sama dengan apa yang dipikul perempuan. Prostitusi tidak terjadi jika tidak ada pihak laki-lakinya.
BERKURBAN DAN BERKORBAN
Selain penasaran karena hanya pelaku perempuan yang terekspos, banyak yang penasaran dengan status saksi korban yang melekat pada pelaku perempuan.