Polemik Perdirjen soal Harga Jual Rokok Bergulir, Khawatir Diskon Kurangi Penerimaan Negara

- Selasa, 14 Juli 2020 | 10:46 WIB
MURAH ATAU MAHAL: Acuan harga jual rokok masih seperti yang tertera di pita cukai kemasan produk. Misalnya, yang terlihat di kasir minimarket. Puguh Sujiatmiko/Jawa Pos
MURAH ATAU MAHAL: Acuan harga jual rokok masih seperti yang tertera di pita cukai kemasan produk. Misalnya, yang terlihat di kasir minimarket. Puguh Sujiatmiko/Jawa Pos

Aturan yang memperbolehkan pabrik rokok mematok harga di bawah 85 persen dari harga jual eceran (HJE) minimum menuai kritik. Aturan yang tertuang dalam Perdirjen Bea Cukai No 37 Tahun 2017 itu dianggap lebih longgar dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 152 Tahun 2019.

’’Aturan tersebut membuat negara berpotensi kehilangan pendapatan PPh badan,’’ ungkap Emerson Yuntho, pengamat kebijakan publik, akhir pekan lalu. Dia menilai tidak ada kajian mengenai ketentuan pelonggaran HJE. Kabarnya, pelonggaran boleh dilakukan tidak lebih dari 50 persen oleh kantor pengawasan bea dan cukai.

Dia menjelaskan, simulasi awal menunjukkan bahwa potensi kehilangan penerimaan negara dari PPh badan industri rokok 2020 akibat kebijakan diskon mencapai Rp 2,6 triliun. Diskon itu termasuk ketentuan 50 persen kantor wilayah pengawasan bea dan cukai.

Angka itu diperoleh dari simulasi dasar terhadap riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) 2019. Riset tersebut melibatkan data sampling 1.327 merek rokok yang dijual di bawah HJE. Hasilnya, negara berpotensi kehilangan PPh badan senilai Rp 1,73 triliun.

Dengan asumsi tahun ini terjadi kenaikan rata-rata 52,1 persen harga transaksi pasar (HTP) dan HJE pada segmen sigaret keretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM), potensi kehilangan penerimaan negara naik. Nominalnya mencapai Rp 2,6 triliun. Penghitungan itu sesuai dengan PMK No 152 Tahun 2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Senada dengan Emerson, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengkritisi kebijakan tersebut. Menurut dia, aturan diskon rokok akan memperbesar potensi kehilangan penerimaan negara. Tauhid pun mengimbau agar kebijakan itu dikaji ulang jika pemerintah ingin meningkatkan penerimaan PPh badan. ’’Kenaikan harga rokok yang terjadi pada 2020 tidak menjamin potensi kerugian negara dari PPh ini terselesaikan,’’ katanya.

Sementara itu, Kasubdit Tarif Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Sunaryo Kartodiwiryo mempunyai pendapat yang tidak sama. Dia menampik anggapan bahwa Perdirjen Bea Cukai No 37 Tahun 2017 akan menjadi penyebab hilangnya penerimaan negara dalam jumlah besar.

Menurut Sunaryo, simulasi potential loss yang disebut-sebut bisa mencapai triliunan itu tidak melibatkan unsur sensitivitas harga terhadap produk rokok. Termasuk kalkulasi yang menyebutkan bahwa perdirjen justru bisa membuat negara kehilangan penerimaan PPh badan hingga Rp 2,6 triliun.

Dia mengungkapkan bahwa kalkulasi yang beredar lebih menitikberatkan pada asumsi rokok mahal dan kurang mahal terhadap omzet. ’’Yang dijelaskan, di bawah HJE omzetnya sekian, di atas HJE omzetnya sekian. Lalu, selisihnya itu yang dianggap kekurangan PPh,’’ tuturnya kepada Jawa Pos (12/7).

Padahal, ada pula sensitivitas harga pada produk rokok. Artinya, apabila harga rokok lebih murah, omzetnya meningkat. ’’Itulah yang tidak diperhitungkan pengamat,’’ ujarnya. Dia juga mengatakan bahwa sampel yang digunakan dalam riset tidak representatif.

Padahal, perdirjen amat menjunjung tinggi hitungan statistik. Menurut Sunaryo, bea cukai menggunakan metode random sampling. Dari situ, sampel-sampel wilayah pemantauan ditunjuk oleh bea cukai. Bahkan, jika ada perubahan wilayah sampel pun, tetap digunakan metode yang sesuai. ’’Jadi, itulah yang membuat kami lebih representatif,’’ katanya.

Dia memerinci, ada empat pungutan rokok. Empat pungutan itu terbagi menjadi direct dan indirect. Yang direct mencakup cukai, PPN, dan pajak rokok. Sementara itu, indirect adalah PPh. Pungutan PPh bergantung jumlah omzet.

Apabila ada rokok yang harganya di bawah banderol, tentu omzetnya bertambah. Itulah yang menurut Sunaryo disebut sensitivitas harga. Makin murah, semakin menambah omzet.  Sunaryo mengakui, memang ada penurunan PPh. Namun, nyatanya, dari empat pungutan itu, sebenarnya cukai menempati kontributor utama. Porsi cukai pada pungutan mencapai sekitar 50 persen, sedangkan PPh hanya sekitar 25 persen.

’’Jadi, kami samplingnya lebih representatif. Perdirjen juga lebih menekankan pada penguatan sampling. Sampai segitunya bea cukai memastikan. Maka dari itu, perlu sampling yang representatif,’’ ucapnya.  Terkait dengan adanya masukan dari beberapa pelaku usaha yang ingin perdirjen itu dihapus, bea cukai akan lebih dahulu melihat dinamika di pasar. Sebab, tujuan perdirjen itu sejatinya juga melindungi pengusaha kecil. (agf/dee/c20/hep)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Transaksi SPKLU Naik Lima Kali Lipat

Jumat, 19 April 2024 | 10:45 WIB

Pusat Data Tingkatkan Permintaan Kawasan Industri

Jumat, 19 April 2024 | 09:55 WIB

Suzuki Indonesia Recall 448 Unit Jimny 3-Door

Jumat, 19 April 2024 | 08:49 WIB

Libur Idulfitri Dongkrak Kinerja Kafe-Restoran

Kamis, 18 April 2024 | 10:30 WIB

Harga CPO Naik Ikut Mengerek Sawit

Kamis, 18 April 2024 | 07:55 WIB
X