SAMARINDA-Sejak awal tahun harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terus mengalami penurunan. Hal itu seiring melemahnya permintaan crude palm oil (CPO) di pasar internasional. Penurunan permintaan akibat dari penundaan beberapa impor berbagai negara akibat corona. Seiring kebijakan new normal di berbagai negara diyakini bisa memperbaiki permintaan CPO yang akan berujung pada peningkatan harga.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim Muhammadsjah Djafar mengatakan, penurunan harga sejak awal tahun disebabkan banyaknya yang menunda impor sawit. Demand yang berkurang membuat harga CPO menurun, yang berujung pada penurunan harga TBS di tingkat petani.
“Namun penurunan harga ini merupakan fluktuasi biasa, akan ada masanya harga CPO akan meningkat,” jelasnya. Dia menjelaskan, harga CPO pasti memiliki waktu peningkatan, pihaknya sudah cukup lama memerhatikan bagaimana fluktuasi bulanan setiap tahun. Penurunan pasti terjadi, tapi peningkatan juga pasti ada. Setidaknya ada tiga faktor yang mendongkrak penguatan harga sawit. Yaitu permintaan dari Tiongkok, India, dan program biodiesel dari Indonesia. Sebagai informasi, India dan Tiongkok merupakan konsumen utama minyak kelapa sawit dunia. Kedua negara itu menjadi tujuan ekspor CPO Kaltim.
“Ketika harga CPO membaik, tentunya akan mendongkrak harga TBS di tingkat petani. Karena CPO digunakan sebagai salah satu komponen penghitung harga TBS,” katanya. Menurutnya, pelaku usaha juga terus melakukan ekspansi pasar untuk ekspor. Dengan ekspansi pasar diharapkan permintaan terus bertambah. Meskipun, tidak boleh terlalu terlena dengan ekspor mentah. Sebab industri hilir lainnya di Kaltim juga harus bergerak cepat.
Artinya agar harga tidak selalu fluktuasi dibutuhkan industri hilir. Jika memiliki olahan turunan sawit, petani tidak perlu bergantung pada harga CPO internasional lagi. “Namun kita yakin harga CPO akan membaik dengan semakin meredanya pandemi Covid-19. Seiring dengan meningkatkan konsumsi dalam negeri,” jelasnya. (ctr/far/k15)