SAMARINDA–Uang senilai Rp 250 ribu harus disediakan para peserta Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Universitas Mulawarman (Unmul). Dana tersebut digunakan untuk biaya rapid diagnostic test (RDT).
Dalam surat bernomor 2286/UN17/PP/2020 baru dikabarkan pada 2 Juli lalu, rapid test menjadi salah satu persyaratan sebelum ujian berlangsung. Namun, hanya berlaku bagi peserta dari luar Kota Tepian. Biaya persyaratan yang lebih mahal dibandingkan pendaftaran UTBK itu ditegaskan Wakil Rektor Bidang Akademik Unmul Mustofa Agung Sardjono, tidak akan masuk ke kas Unmul. "Tidak ada sepeser pun," tegasnya.
Dia juga memastikan, tidak ada kucuran dana Unmul yang mengalir ke kegiatan rapid test. Seluruh penyelenggaraan merupakan bantuan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kaltim. Termasuk penyediaan alat rapid test, alat proteksi diri (APD), dan tenaga laboran. Sementara Unmul hanya sebagai fasilitator. "Enggak ada keluarkan dana, enggak ada duitnya juga, anggaran kan dari pusat," imbuhnya. "Kalau mau pakai dana juga enggak bisa cepat, harus direvisi, enggak bisa buru-buru revisi. Sementara kemarin rekomendasi dari Satgas Covid-19 Kaltim mendadak," sambungnya.
Agung menerangkan, perkiraan rapid test yang akan mencapai 2 ribu, ternyata hanya sekitar 900 orang yang melakukannya di Poliklinik Unmul. Dirinya yakin para peserta lainnya telah melakukan rapid test di daerah asal masing-masing. Terlebih beberapa daerah memfasilitasi tes gratis. "Bagus aja sebenarnya, kan cuma mengantisipasi saja jika ada yang belum rapid," imbuhnya.
Jika ditotal, dari 900 peserta yang mengikuti rapid test dengan harga Rp 250 ribu per orang, akan didapatkan Rp 225 juta. Namun, terang Agung, pemasukan yang diterima itu belum dipangkas dengan tenaga laboran dan subsidi silang bagi peserta pemegang Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk mendapatkan bebas biaya. "Dana itu juga sebenarnya untuk membantu peserta yang kurang mampu, untuk lengkapnya ke IDI," jelasnya.
Disinggung terkait edaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tentang batas maksimum harga rapid test yang menjadi Rp 150 ribu, Agung mengatakan, sebenarnya telah menyurati IDI Kaltim sebagai pelaksana. Namun, bahan rapid yang lebih mahal membuat biaya rapid belum bisa diturunkan.
"Penetapan biaya rapid itu sebelum ada keputusan dari kementerian. Saya sudah tanyakan juga ke IDI, coba tanyakan saja kembali, termasuk perincian dananya," tutupnya.
Terpisah, Ketua IDI Kaltim Nataniel Tandirogang membenarkan dana rapid test akan dikelola IDI Kaltim. Namun, dirinya memastikan jika ada uang berlebih akan dilakukan untuk penanganan Covid-19 ke depannya. Dana selisih itu akan digunakan untuk upah tenaga laboran dan biaya pembelian alat serta APD. "Kami (IDI Kaltim) yang kelola. Kalau ada sisanya akan masuk ke kas IDI untuk penanganan Covid-19. Namun, saya enggak yakin ada (dana lebih)," ucapnya.
Pria yang juga kepala Satgas Covid-19 Unmul itu mengatakan, sebelumnya sempat mengonfirmasi ke Unmul, setidaknya ada sekitar 1.600 peserta kurang mampu dari 4.600 peserta yang berasal luar daerah. "Jadi, biaya sebesar Rp 250 ribu itu buat subsidi silang, bahkan beberapa peserta ada yang datang, memang terus terang kekurangan biaya dan digratiskan," jelasnya. "Jadi, semata-mata ini bukan untuk bisnis ya," tutupnya. (*/dad/dra/k16)