Kutai Timur (Kutim) jadi salah satu kabupaten yang bakal menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Namun, Ismunandar, sang petahana, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pertanda transaksional dalam proses pengadaan barang dan jasa makin kuat jelang pesta demokrasi.
SAMARINDA–Operasi tangkap tangan (OTT) yang dijalani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Kutim non-aktif Ismunandar dan istrinya Ketua DPRD Kutim Encek UR Firgasih patut diapresiasi. Namun, jadi pelajaran bagi kepala daerah lain. Politik balas budi dinilai bisa jadi salah satu penyebab korupsi.
Sekretaris Pusat Studi Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Herdiansyah Hamzah mengatakan, politik berbiaya tinggi (high cost politic) bukan satu-satunya faktor yang mendorong perilaku korup kepala daerah. Tapi biaya politik yang tinggi itulah, alasan yang memaksa para kandidat, khususnya petahana untuk menghalalkan segala cara.
“Hasil kajian Litbang Kemendagri (Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri) menunjukkan untuk menjadi wali kota/bupati diperlukan biaya Rp 20–30 miliar. Sementara menjadi gubernur berkisar Rp 20–100 miliar. Ongkos yang harus mereka keluarkan itu. Tentu tidak sepadan dengan gaji yang bakal diterima oleh seorang kepala daerah,” bebernya.
Selain itu, pertanda masih kuatnya politik transaksional dalam proses pengadaan barang dan jasa. Semacam upeti yang diberikan sebagai tiket untuk memenangkan tender barang dan jasa. Tradisi semacam itu jelas akan melanggengkan tindakan korup dalam proses lelang.
Kepala daerah cenderung menggunakan pengaruhnya (trading in influence) untuk mengatur lalu lintas pemenang tender demi mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Juga keterlibatan tiga unsur organisasi perangkat daerah (OPD) dalam kasus OTT itu, yakni Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), dan Dinas Pekerjaan Umum (PU). Fakta itu menandakan OPD telah menjadi sapi perah kepala daerah yang hanya dijadikan bancakan untuk memperkaya pundi-pundi modal politiknya jelang pemilihan kepala daerah (pilkada).
Tentu saja ada proses tawar-menawar atau transaksi saling menguntungkan di antara keduanya. Termasuk dalam proses seleksi atau keterpilihan kepala-kepala OPD tersebut. Itu merusak desain merit system manajemen lembaga pemerintahan. Sebab, telah terjadi spoil system yang memberikan dampak merugikan terhadap kualitas layanan publik.
Dalam kasus Ismunandar, kata dia, yang menarik adalah keberadaan politik dinasti. Pasalnya, tersangka lain yang turut diamankan, yakni ketua DPRD Kutim yang juga istri bupati Kutim. Itu menandakan politik dinasti telah memberikan jalan yang lapang bagi perampokan keuangan negara.
“Politik dinasti telah melumpuhkan check and balances system antara pemerintah dan DPRD. Sebab, kendali pengawasan berada di tangan satu keluarga. Jadi mustahil akan ada kontrol yang kuat dan memadai di bawah kuasa politik dinasti,” ungkap Castro, sapaan akrab Herdiansyah Hamzah.
Di sisi lain, dosen Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unmul Sonny Sudiar mengatakan, oligarki tak lagi memikirkan apa keperluan masyarakat. Tetapi oligarki melahirkan dinasti politik dan itu menjadi penyakit demokrasi.
Dikatakan, melawan dinasti politik bukan perkara mudah. Contohnya Filipina, disebut Sony, negara itu memiliki kondisi yang kurang lebih sama seperti Indonesia. Tetapi Filipina pernah melangkah sedikit maju dengan merancang undang-undang anti-politik dinasti. “Tetapi sayang, Mahkamah Agung Filipina menolak. Alasannya karena tidak adanya undang-undang anti-politik dinasti yang diperintahkan oleh Konstitusi Filipina,” terangnya.
Dia melanjutkan, mungkin ada beberapa langkah konkret bagaimana cara merontokkan oligarki politik salah satunya dengan edukasi politik. Itu seharusnya adalah tugas partai politik. “Tetapi sejauh ini kita lihat ternyata banyak kegagalan dalam edukasi politik,” ucapnya.