SAMARINDA-Pembatasan tarif rapid test yang dikeluarkan pemerintah pusat menuai polemik di daerah. Apalagi daerah membeli rapid test rata-rata di atas Rp 200 ribu. Kenyataan itu membuat sejumlah rumah sakit sulit mengikuti kebijakan dari pusat tersebut.
“Yang paling murah kami beli rapid test Rp 123 ribu. Itu jumlahnya tidak banyak. Selebihnya di atas Rp 200 ribu,” ungkap Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan (Diskes) Kaltim Andi M Ishak.
Dikatakan, menetapkan tarif rapid test juga mempertimbangkan jasa pemberi layanan dan alat pelindung diri (APD) sekali pakai yang dikenakan petugas. Diakui Andi, Surat Edaran (SE) Nomor HK.02.02/I/2875/2020 dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi tidak diiringi dengan penjelasan karena masih menimbulkan pertanyaan kapan mulai berlakunya.
Apakah tidak ada masa transisi untuk mengantisipasi harga rapid test yang sudah dibeli lebih mahal daripada batas yang ditetapkan. “Namun, kami akan mengawal kebijakan itu untuk bisa terlaksana. Tapi juga tidak merugikan penyedia layanan,” imbuhnya.
Selain itu, dijelaskan Andi, pemerintah pusat belum mengatur harga rapid test, sehingga edaran itu akan sulit bisa dilaksanakan kecuali sudah tersedia rapid test dengan harga lebih murah dan jumlah yang cukup. Karena itu, pihaknya belum bisa memberikan sanksi jika rumah sakit masih memberlakukan tarif di atas Rp 150 ribu.
Sanksi bisa dilakukan dengan tegas bila pusat sudah mengatur harga jual tertinggi rapid test dengan jumlah yang cukup. “Tapi, kalau ini belum ada, mengingat harga rapid test masih di atas batas harga layanan. Tentu kami tidak bisa memaksa, karena itu akan merugikan pemberi layanan,” imbuhnya.
Sebelumnya, diungkapkan Ketua Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Kaltim Edy Iskandar, banyak rumah sakit yang keberatan dengan batasan harga rapid test itu. Mengingat modal rapid test saja Rp 200 ribu. Belum lagi biaya operasional yang dilakukan ketika rapid test, seperti membiayai jasa analis kesehatan dan dokter.
Dari situ, muncullah harga sekitar Rp 300 ribu. Berbeda jika dari awal harga alat rapid test itu Rp 50 ribu, sehingga untuk pemeriksaan rapid test bisa dikenai tarif Rp 150 ribu. Sejak munculnya surat edaran tersebut, Edy mengatakan, banyak rumah sakit yang mengeluh dan enggan mengikuti aturan itu, mengingat kondisi yang tak memungkinkan.
Justru, jika pemerintah memiliki koneksi atau produsen yang menjual rapid test lebih murah, diharap bisa menginfokan ke pihak rumah sakit. Namun, jika ada rapid test murah, kualitasnya tetap harus utama. Jangan asal murah saja.
Saat ini masyarakat banyak yang melakukan rapid test mandiri karena ingin bepergian ke luar kota. Sebab, salah satu syarat untuk bisa naik kapal laut ataupun pesawat adalah menunjukkan keterangan surat rapid test nonreaktif atau negatif hasil pemeriksaan swab.
Saat ini arus masyarakat yang datang dan pergi dari Kaltim mulai merangkak. Dijelaskan Kepala Seksi Pelayanan dan Operasi Bandara APT Pranoto Samarinda Rora Adian, kini jumlah penumpang perlahan meningkat.
“Siap secara umum dapat kami sampaikan dengan rata-rata perbandingan 5.000 penumpang tiap harinya pada kondisi normal. Saat ini rata-rata 1.500 penumpang per harinya,” jelas Rora.
CARI SOLUSI
Tak sedikit rumah sakit di luar kota telah memberlakukan syarat rapid test bagi pengunjung yang berobat. Hal itu menuai pro-kontra, apalagi dianggap menambah beban masyarakat dalam situasi pandemi yang semakin sulit.