Terancam Merugi, RS Ogah Turunkan Tarif Rapid Test

- Jumat, 10 Juli 2020 | 09:40 WIB

BALIKPAPAN-Kebijakan pusat menuai penolakan di daerah. Terbitnya Surat Edaran (SE) Nomor HK.02.02/I/2875/2020 dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi jadi pemicu.

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Kaltim menyambut dingin surat edaran itu. Ketua Persi Kaltim Edy Iskandar menyebut, SE yang ditandatangani pada 6 Juli lalu oleh Dirjen Pelayanan Kesehatan sangat tidak rasional. Karena harga alat rapid test Covid-19 dari distributor sudah berkisar Rp 200 – 250 ribu per sekali pemeriksaan.

“Belum lagi rumah sakit memiliki biaya operasional. Termasuk membiayai jasa analis dan dokter. Sehingga muncul tarif rapid test di rumah sakit antara Rp 300 ribu ke atas,” jelas Edy.

Pemerintah khususnya Kemenkes dianggap tidak konsisten. Sejak awal tidak ada aturan soal berapa sebenarnya tarif yang bisa dibebankan kepada masyarakat yang akan menjalani rapid test secara mandiri. Begitu pula soal biaya rapid test yang bisa diperoleh rumah sakit. “Kalau dari awal ditentukan alat rapid test itu harganya Rp 50 ribu misalnya. Nah, itu masuk akal kalau tarifnya nanti di bawah Rp 150 ribu,” katanya.

Sejak munculnya SE itu, Edy menyebut semua rumah sakit mengeluh. Dan tidak memiliki niat untuk mengikuti. Pun jika pemerintah ingin mengatur tarif, maka sejak awal harus diatur soal harga jualnya. “Sejak awal ‘kan mengikuti mekanisme pasar,” katanya.

Berdasarkan mekanisme pasar, rumah sakit yang selama ini membeli alat rapid test dari swasta pun akhirnya menimbang. Jika SE yang menginstruksikan kepada fasilitas kesehatan untuk mengikuti batasan tarif tertinggi Rp 150 ribu hanya sekadar imbauan. “SE ini tidak mengikat. Tidak pula ada sanksi jika rumah sakit melanggar. Karena sejak awal tidak dikendalikan pemerintah,” sebutnya.

Kalau benar, ada alat rapid test yang lebih murah, Edy meminta kepada pemerintah untuk segera memberikan informasi. Agar rumah sakit bisa mengikuti surat edaran tersebut. Namun hingga kini, dirinya belum mendapatkan informasi apa pun.

“Alat apa yang direkomendasikan? Yang dikeluarkan itu rapid test yang mana? Kalau ada yang murah, terjamin tidak kualitasnya?” ujar Edy mempertanyakan dasar penetapan batasan tarif tertinggi.

Jika SE itu dipaksakan, maka pihak rumah sakit akan merugi. Apalagi untuk rumah sakit swasta, yang disebutnya memiliki biaya operasional yang lebih tinggi dibandingkan rumah sakit pemerintah. “Jadi SE ini tidak dikaji secara bijak. Menkes tidak mengatur sejak awal soal rapid test, tapi ujungnya mengatur soal tarif,” ujarnya.

Selaku direktur RSUD dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan, Edy memastikan rumah sakit yang dipimpinnya tidak akan mengubah tarif. Baginya, selama pemerintah belum bisa menjamin harga alat rapid test berada di bawah batasan tarif tertinggi. “Sama seperti BBM (bahan bakar premium) premium. Itu bisa diatur karena ada subsidi. Ada kendali dari pemerintah. Ini ‘kan tidak,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK) Balikpapan Andi Sri Juliarty menjelaskan, sejak awal seluruh fasilitas kesehatan baik rumah sakit maupun klinik yang memberikan pelayanan rapid test harus membuat surat pemberitahuan kepada pihaknya. “Setelah itu tim kami akan mengecek,” kata Dio, biasa disapa.

Tim akan memeriksa merek, jenis, dan kelayakan lain dalam pelaksanaan rapid test sesuai rekomendasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kemenkes. Termasuk bukti pembelian alat rapid test. “Jadi, dari 30 fasilitas kesehatan yang mendapat rekomendasi, tidak ada satu pun yang membeli alat rapid test di bawah harga Rp 150 ribu,” ungkapnya.

Terkait beredarnya SE dari Dirjen Pelayanan Kesehatan, Dio menegaskan telah melakukan pengecekan langsung ke pihak distributor alat rapid test yang selama ini dijual di Balikpapan. Di mana tidak ada informasi tersedia alat rapid test dengan harga yang banyak diisukan sebesar Rp 30 ribu.

“Yang kami peroleh informasinya, bahwa Kemenkes tengah melakukan penelitian membuat rapid test buatan dalam negeri bernama RI-GHA yang akan dijual Rp 75 ribu. Namun, hingga kini belum beredar di pasaran,” beber Dio.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X