Oleh: Muhammad Sarip
Peminat Literasi Sejarah Lokal
Dalam satu bulan terakhir, konstelasi politik antara pusat dan daerah Kalimantan Barat agak terguncang. Pemicunya ketika seorang eks petinggi militer menyatakan bahwa Sultan Hamid II adalah pengkhianat.
Sejarawan anggota Tim Pengkaji dan Peneliti Gelar Tingkat Pusat (TP2GP), Dr Anhar Gonggong, juga berpendapat senada. Dalam video yang viral bulan lalu, Anhar melontarkan pernyataan bahwa Sultan Pontianak tersebut tidak pantas mendapat gelar pahlawan nasional. Di antara alasannya ialah Sultan Hamid II dituding sebagai kolega Westerling yang membantai 40 ribu rakyat Sulawesi Selatan.
Berlatar polemik tersebut, AGSI mengadakan webinar bertajuk “Menguak Tabir Sultan Hamid II dalam Perjalanan Sejarah Bangsa”. Webinar diselenggarakan Minggu, 5 Juli 2020, dengan peserta hampir dua ribu orang.
Presiden AGSI, Dr Sumardiansyah Perdana Kusuma, dalam sambutan webinar menyampaikan, AGSI bersifat netral dan tidak akan terlibat dengan kemelut pengkhianat atau pahlawan. Sumardiansyah yang juga bertindak selaku moderator webinar menuturkan, AGSI akan menilai secara objektif, proporsional, dan bijak mengenai kiprah para tokoh dalam sejarah Indonesia.
Daya tarik webinar ini adalah kehadiran narasumber Dr Rushdy Hoesein. Dia hampir seumuran Anhar Gonggong, terpaut dua tahun. Sebagaimana Anhar, Rushdy juga sering tampil di layar televisi nasional dalam program sejarah. Fokus perhatiannya pada persoalan-persoalan sejarah kontemporer.
Rushdy mengungkapkan peran Sultan Hamid II sebagai ketua Bijeenkomst voor Federaal Overleg alias BFO yang ternyata berdampak positif bagi perjuangan Indonesia menghadapi Belanda. Sultan Hamid II terpilih sebagai ketua BFO, mengungguli Anak Agung Gde Agung. Dalam sejarah nasional Indonesia versi mainstream selama ini, eksistensi BFO dicap negatif. Majelis permusyawaratan negara-negara federal ini dianggap semata sebagai kaki tangan Belanda.
Realitasnya, Sultan Hamid II dan rombongan BFO pada 1949 menemui para pimpinan RI yang ditahan Belanda di Bangka. Sultan Hamid II mempunyai andil memuluskan perundingan Indonesia-Belanda hingga Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berujung penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
Rushdy juga menuturkan, Bung Karno menaruh hormat pada Sultan Hamid II. Hasil dari KMB ialah terbentuknya Negara RIS yang berdaulat. Presiden RIS yang dilantik pada 17 Desember 1949 adalah Bung Karno. Sultan Hamid II menerima dan menghadiri pelantikan di Keraton Yogjakarta itu.
Selain Rushdy, ada tiga narasumber lain. Turiman Faturahman Nur adalah peneliti lambang Garuda Pancasila yang tesisnya dipresentasikan di hadapan para guru besar di Magister Hukum Universitas Indonesia. Ia memaparkan kronologi sejarah pembuatan lambang negara Garuda Pancasila dalam konteks hukum. Selama 3,5 tahun, dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura ini meneliti dengan kewajiban mengumpulkan semua dokumen dan arsip autentik terkait.
Peran Sultan Hamid II alias Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie signifikan dalam gagasan garuda Ganesha yang akhirnya menjadi elang rajawali, lalu konsep garis khatulistiwa pada bagian tengah, dan bentuk rantai khas sebuah etnik lokal di Kalimantan Barat.
Turiman menyampaikan ironi dalam pengajaran di sekolah. Ketika siswa ditanya, siapa penjahit bendera pusaka, mereka bisa menjawabnya Ibu Fatmawati. Ketika siswa ditanya, siapa pencipta lagu Indonesia Raya, mereka bisa menjawabnya WR Supratman. Namun, ketika mereka ditanya, siapa pencipta lambang Garuda Pancasila, banyak yang tidak tahu jawabannya.