SINGAPURA–Pandemi Covid-19 memaksa semua warga dunia harus lebih banyak berada di rumah untuk memutus mata rantai penularan virus tersebut. Kondisi itu ternyata membuat pasangan suami-istri di Singapura menghadapi konflik dan masalah.
Tak hanya masalah biasa, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) naik selama kebijakan semi-lockdown atau circuit breaker diterapkan Pemerintah Singapura.
Singapura mencatat telah terjadi peningkatan 30 persen kasus permintaan bantuan kepada layanan perlindungan anak di Kementerian Sosial dan Pembangunan Keluarga. Menteri Pembangunan Sosial dan Keluarga Singapura Desmond Lee menjelaskan, permintaan layanan itu termasuk masalah KDRT.
“Pertanyaan termasuk yang terkait dengan ketegangan dalam keluarga, konflik perkawinan dan perselisihan dan beberapa melibatkan insiden kekerasan,” katanya, dua hari lalu seperti dilansir Straits Times.
Dengan demikian, jumlah kasus baru yang diselidiki pada orang dewasa dan layanan perlindungan anak meningkat secara marginal sebesar 5 persen setelah lockdown. Lee memberikan angka pembaruan itu dalam sebuah posting Facebook.
Dia menulis tentang kunjungannya ke Casa Raudha Women Home, tempat penampungan krisis yang menyediakan perlindungan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan keluarga. Kekerasan keluarga telah meningkat sejak langkah pemutus sirkuit dimulai pada 7 April.
Terdapat 476 laporan polisi. Pelanggaran umumnya terkait dengan kekerasan keluarga dari 7 April dan 6 Mei, meningkat 22 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Hal tersebut karena individu dan keluarga mungkin mengalami lebih banyak tekanan di tengah semi-lockdown yang berpotensi menyebabkan kekerasan. Gugus tugas sudah dibentuk pada Februari untuk mengatasi masalah kekerasan dalam keluarga dan memberikan dukungan yang lebih baik kepada para korban.
Tim diketuai bersama oleh Sekretaris Parlemen Senior untuk Urusan Dalam Negeri Sun Xueling dan Sekretaris Parlemen Senior untuk Pembangunan Sosial dan Keluarga Muhammad Faishal Ibrahim. (jpg/kri/k8)