Menjadi salah satu produsen minyak kelapa sawit tertinggi di dunia, Indonesia berpeluang besar memiliki ketahanan energi yang mumpuni. Tentu jika program mandatori biodiesel terus dipercepat.
DINA ANGELINA, Balikpapan
LIMA belas tahun silam pemerintah memulai program biofuel. Kala itu tersadar kebutuhan minyak tinggi dan sudah mulai impor. Padahal negara ini terkenal sebagai produsen minyak. Mengatasi hal tersebut, pemerintahan yang saat itu di bawah Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono memilih mengembangkan biodiesel tahap pertama pada 2005.
Pemerintah muncul dengan kebijakan mandatori biodiesel. Sejak 2006 memulai B5, B10, dan B15. Era Presiden Joko Widodo, program ini semakin diperkuat dengan B20 hingga teranyar tahun ini menjadi B30. Sawit sebagai bahan dasar unggulan biodiesel memiliki segudang keunggulan.
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menuturkan, biodiesel mampu mengurangi ketergantungan impor bahan bakar. Pemakaian bahan bakar di Indonesia sekitar 1,4 juta barel per hari. Sedangkan Indonesia menghasilkan hanya 778 ribu barel per hari.
Berdasarkan data Aprobi, pengurangan impor minyak solar terlihat cukup signifikan sejak empat tahun terakhir. Contoh pada 2017, Indonesia mampu mengurangi 2,5 juta kiloliter (kl) atau setara USD 1,1 miliar. Proyeksi 2020, pengurangan impor solar mencapai 9,6 juta kl atau setara USD 5 miliar. (lihat infografis)
Kemudian dari sisi lingkungan, Indonesia telah mengurangi emisi dari minyak solar sebesar 45 persen pada 2019. Setara dengan 17,5 juta ton CO2 equivalent. Artinya biodiesel jauh lebih ramah lingkungan. Lebih tidak beracun dibandingkan solar, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih kecil dan mengurangi polusi.
Serta dampak ekonomi yang terasa begitu besar, tidak bisa dipandang sebelah mata oleh komoditas lainnya. Biodiesel mampu menghemat devisa sekitar Rp 50 triliun atau setara USD 3,34 miliar pada 2019. Paulus menuturkan pada era B30, kapasitas saat ini 11,6 juta kl terpasang dari 19 perusahaan.
“Proyeksi tahun ini kapasitas akan bertambah 3,5 juta kl kalau tidak ada Covid-19. Tahun selanjutnya bertambah 3 juta lagi,” katanya. Kemudian industri ini melibatkan 795 ribu tenaga kerja di sektor hulu. Tidak hanya meningkatkan pendapatan petani, namun sekaligus mengurangi 25 juta ton CO2 equivalent.
Menariknya, sawit tak hanya bisa dikelola sebagai biodiesel. Potensinya begitu luas untuk membuat energi terbarukan lainnya. Misalnya biofuels selain biodiesel, yakni green diesel, green gasoline, dan green avtur. Kemudian biogas, biomass, dan electricity. Dia meyakini, industri ini akan berdampak besar nantinya.
Jika industri maju, negara maju, tentu bahan bakar yang dibutuhkan akan lebih besar. “Saya sering dengar negara lain mengurangi produksi biofuel, tapi buktinya sampai sekarang produksi bahan bakar nabati (BBN) ini selalu bertambah 10 tahun terakhir. Bertambah 100 persen atau dua kali lipat,” tuturnya.
Kontribusi sawit sebagai ketahanan energi juga bisa terlihat dari program mandatori biodiesel. Plt Asisten Deputi Perkebunan & Hortikultura Kemenko Perekonomian Muhammad Saifulloh menjelaskan, sawit mampu mendorong Indonesia untuk mandiri energi. Bahan bakar fosil diganti bahan bakar terbarukan yakni sawit.