Pengusaha kelapa sawit tak sabar menanti realisasi percepatan mandatori biodiesel. Langkah ini diyakini bisa mengurangi ketergantungan ekspor crude palm oil (CPO) dan harga tandan buah segar lebih stabil.
BALIKPAPAN–Pengembangan B100 yang direncanakan pemerintah berlangsung mulai tahun depan diharapkan bisa terwujud. Sebab, hingga saat ini, harga CPO dan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit masih rentan berfluktuasi. Terlalu bergantung kondisi pasar dunia dan permintaan negara pengimpor. Belum lagi banyak dihadapkan dengan kampanye negatif.
Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim Azmal Ridwan mengatakan, bila penggunaan bahan bakar nabati dari minyak sawit mentah bisa terlaksana ini akan menjadi potensi besar bagi Indonesia dan Kaltim. “Ini akan menjadi kemandirian energi. Karena produksi lokal bisa kami akomodasi,” ungkapnya, (5/7).
Azmal menyampaikan, Pertamina telah memiliki rencana bakal memproduksi B100 di Kilang Cilacap. Pengusaha tentu menyambut positif rencana ini. Apalagi belakangan telah terjadi diskriminasi produk sawit Indonesia, terutama di kawasan Uni Eropa. Saat ini produksi CPO Indonesia mencapai 40 juta ton. Bila B100 diterapkan maka kita butuh bahan baku CPO 50 juta ton.
“Artinya kita butuh 10 ton lagi. Jika terpenuhi, tentu kita bisa mengurangi ekspor dan kita pergunakan sendiri,” ujarnya. Sementara itu, di Kaltim, hingga April lalu, produksi TBS sawit di Kaltim mencapai 18,4 juta ton, dengan produksi minyak sawit mentah (CPO) sebanyak 4,04 juta ton. “Jadi, kita tidak peduli dengan protes-protes yang diberikan oleh Uni Eropa kepada produk CPO kita,” ujarnya.
Dia mengatakan, permasalahan dalam sawit bukan lagi soal penghentian pembelian CPO oleh Uni Eropa. Lebih dari itu, masalah yang segera harus diperbaiki adalah soal tata kelola. Menurut dia, hingga saat ini masalah yang ada di kalangan petani adalah soal legalitas dan adanya lahan petani masuk tata ruang atau kawasan hutan.
“Pemerintah daerah, baik itu di tingkat provinsi ataupun kabupaten kota serta seluruh stakeholder dalam sawit ini harus bersinergi,” katanya. Hingga kini, sambungnya, Pemprov terus fokus dalam percepatan program peremajaan tanaman kelapa sawit perkebunan Kaltim. Dengan diterapkannya B100, maka masa depan kelapa sawit Indonesia akan tetap cerah.
“Fluktuasi harga di subsektor perkebunan dan pertanian itu biasa. Tidak perlu khawatir, bahkan bisnis benih sawit pun masih cerah,” katanya. Sejauh ini, B20 dan B30 sudah digunakan untuk BBM. “Kami tunggu B100,” serunya.
Kepala Dinas Perkebunan Kaltim Ujang Rachmad menyebutkan, luasan lahan potensial di Bumi Etam untuk kegiatan usaha subsektor perkebunan mencapai 3,26 juta hektare. Ini setara dengan 25 persen dari luas daratan Kaltim. Sedangkan total luas realisasi tanam untuk seluruh komoditas perkebunan mencapai 1,38 juta hektare.
Jumlah tersebut terdiri atas komoditas kelapa sawit seluas 972.522 hektare. Sisanya sekitar 415.850 hektare untuk berbagai komoditas perkebunan. “Hingga saat ini masih terdapat perusahaan pemegang izin lokasi sebanyak 380 izin dengan luas 2,82 hektare. Pemegang izin usaha perkebunan 336 izin seluas 2,55 hektare dan hak guna usaha 204 izin seluas 1,19,” jelasnya. (aji/ndu/k8)