Manusia Masker dan Ekonomi Eksponensial

- Senin, 6 Juli 2020 | 13:33 WIB
-
-

Oleh: Suharyono S. Hadinagoro

Pemerhati Ketenagakerjaan & Ekonomi Kerakyatan

MASKER pada era kenormalan baru telah menjadi pemandangan umum di ruang-ruang publik seperti pasar, mal, rumah sakit, perkantoran, perhotelan, tempat wisata, moda transportasi, dan lain-lain. Fenomena abnormal ini telah mengubah penampilan kita menjadi “manusia masker” dengan harapan agar dapat mencegah penularan wabah Covid-19 yang hingga kini belum juga mereda.

Memakai masker saja, belum tentu terbebas dari penularan wabah corona, apalagi tidak memakainya. Kita hidup ibarat dalam ruangan bersama ular cobra yang setiap saat bisa memangsa kita. Penerapan protokol kesehatan harus benar-benar dijalankan dengan penuh kesadaran, disiplin tinggi dan bertanggung jawab; termasuk pertanggungjawaban keuangan negara yang jumlahnya sangat besar. 

Polri telah menemukan delapan kasus penyelewengan dana bansos dalam penanggulangan Covid-19 sehingga perlu law enforcement sejalan dengan Pasal 2 Ayat 2 UU Pemberantasan Tipikor mengatur ancaman hukuman dan pemberatan pidana bagi pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang diperuntukkan antara lain untuk penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional dan lain sebagainya. 

Alih-alih ingin memacu pemulihan ekonomi di tengah wabah corona malah menambah lonjakan jumlah kasus positif Covid-19; sehingga memerlukan tambahan anggaran yang tidak sedikit. Perlu effort sangat besar dan bersama-sama dan bagi pejabat publik jika terbukti tidak mampu menjalankan tugas dan kewajibannya lebih baik mundur dan memberi kesempatan kepada orang lain yang lebih kompeten.

MANUSIA MASKER

World Health Organization (WHO) yang semula tidak mengharuskan orang sehat memakai masker kini telah mengubahnya menjadi mengharuskan semua orang yang berada di tempat-tempat umum harus memakai masker. Ini setelah banyak penelitian ilmiah yang merekomendasikan bahwa penggunaan masker secara signifikan dapat mengurangi penyebaran Covid-19.

Pada era abnormal ini (bukan new normal) jika seseorang hendak melakukan aktivitas sosial di ruang publik harus mematuhi protokol kesehatan, harus mengubah penampilannya sebagai “manusia masker”, yang   mengenakan masker, face shield, jaga jarak, sering cuci tangan dengan sabun dan lain-lain. Sehingga, pengeluaran biaya untuk kebutuhan sehari-hari menjadi bertambah. Padahal pendapatan menurun.

Secara umum, pendapatan rumah tangga menurun rata-rata mencapai 54 persen dan pengeluarannya naik menjadi sekitar 56 persen, antara lain untuk membeli APD (alat pelindung diri) sesuai protokol kesehatan dalam pencegahan Covid-19. Belum lagi, bagi seseorang yang hendak melakukan perjalanan menggunakan moda transportasi udara harus merogoh kocek yang lebih besar untuk rapid test, PCR (polymerase chain reaction) yang harganya mencapai jutaan rupiah, dan sangat irasional karena harganya lebih mahal daripada harga tiket pesawat.

Sementara itu, Yuen Kwok-yung dari Hong Kong University telah melakukan penelitian tentang efektivitas masker untuk mencegah penularan wabah penyakit corona di udara hasilnya signifikan walaupun risiko terkena infeksi masih memungkinkan. Namun, ada tantangan yang tidak mudah untuk membiasakan masyarakat mau mengenakan masker, bahkan sering kita jumpai banyak kasus orang ditegur karena tidak memakai masker justru menjadi marah. 

Menurut Prof Kuntjoro, guru besar UGM, sebab-sebab orang menjadi marah karena adanya pembangkangan, prank mencari sensasi agar banyak followers, dan kesalahasuhan seperti watak merasa paling hebat dan superman.

Pun, Prof David B Abrams, New York University, menjelaskan kegelisahan dan polarisasi ekstrem atas pemakaian masker dapat dihubungkan ke satu hal, yaitu karena virus dan pandemi ini terasa sangat asing. Ada semacam “kognisi panas” dengan serangkaian emosi yang kuat dan yang benar-benar mengesampingkan dan menghapus pemikiran rasional.

Sementara Prof Joseph J Trunzo-Bryant University menilai, setiap perilaku manusia, bahkan perilaku yang tampaknya sederhana seperti mengenakan masker atau tidak ditentukan oleh beberapa faktor. Yaitu, keyakinan politik, ideologi, faktor sosial, dan pendidikan. Lebih dari itu, didorong juga adanya ketidakpastian maupun kecemasan karena virus corona tidak kunjung usai.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X