Kasus yang membelit Bupati Kutai Timur (Kutim) Ismunandar bersama istrinya Ketua DPRD Kutim Encek UR Firgasih harusnya jadi pelajaran. Apalagi sistem lelang berbasis elektronik seharusnya sudah ideal dan transparan.
SAMARINDA-Ismunandar dan Encek bersama lima orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (3/7). Diduga mereka terlibat dalam kasus suap proyek infrastruktur di Kutim.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia (Gapeksindo) Kaltim Slamet Suhariadi menuturkan, mekanisme lelang itu sebenarnya sudah baik. Pasalnya, sudah berbasis elektronik.
Namun, celakanya bila sistem yang ideal tersebut dirusak oleh transaksi ilegal. Perusahaan konstruksi memberikan “penawaran khusus”. “Sebab, kalau dari seratus masih ada dua atau tiga yang mau menyuap, ya selain tiga itu, tidak dapat,” ucap Slamet.
Selain itu, dari sisi pemerintah tidak boleh meminta dan menerima fee. Panitia melakukan lelang sesuai aturan. Sekalipun ada atasannya yang berusaha mengintervensi proses lelang, mereka tidak goyah. Sehingga pengadaan berbasis elektronik yang terpampang di website pemerintah itu tidak sekadar hiasan atau formalitas belaka. “Sebab, ada juga sebenarnya petugas lelang itu tidak mau bermain. Namun, karena ada intervensi dari atasan, mereka jadi takut dan tetap menurut atasannya,” beber dia.
Diwartakan sebelumnya, KPK menetapkan Ismunandar dan Encek UR Firgasih sebagai tersangka. Selain Ismunandar dan istrinya, tiga tersangka yang ditetapkan KPK sebagai penerima suap yakni Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kutim Musyaffa, Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kutim Aswandini, serta Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kutim Suriansyah.
Kemudian sebagai pemberi suap, KPK menetapkan dua rekanan; Aditya Maharini dan Deky Aryanto. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menjelaskan, penetapan tujuh tersangka itu merupakan tindak lanjut operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan pada Kamis (2/7) di beberapa tempat di Kutim, Jakarta, dan Samarinda.
Lanjut Nawawi, Ismunandar ditangkap di sebuah restoran di kawasan Senayan, Jakarta. “Lalu, Kamis, 2 Juli pada 18.45 WIB, setelah KPK mendapat informasi penggunaan uang yang diduga dikumpulkan dari rekanan yang menjalankan proyek di Kutim. Kemudian tim mengamankan ISM (Ismunandar), AW, dan MUS, di sebuah restoran di Senayan, Jakarta,” papar Nawawi.
Total, ada 16 orang yang diamankan dalam operasi senyap di tiga lokasi itu. Ismunandar dan istrinya ditangkap di Jakarta. Dari OTT itu, KPK menemukan uang tunai sejumlah Rp 170 juta, beberapa buku tabungan senilai Rp 4,8 miliar, dan sertifikat deposito sebesar Rp 1,2 miliar. “Secara simultan, tim KPK yang berada di area Jakarta dan Sangatta turut mengamankan pihak-pihak lain,” kata Nawawi dalam konferensi pers di Jakarta, dua hari lalu.
KPK menemukan adanya indikasi penerimaan suap terkait proyek infrastruktur di Kutim. Para rekanan diduga telah memberikan uang kepada bupati pada 11 Juni lalu. Perinciannya, Aditya selaku rekanan Dinas PU Kutim memberikan Rp 550 juta.
Sementara Deky (rekanan Dinas Pendidikan) memberikan Rp 2,1 miliar. Uang itu diberikan melalui Suriansyah dan Encek. Untuk diketahui, Aditya telah menjadi rekanan sejumlah proyek Dinas PU Kutim.
Di antaranya, pembangunan embung Desa Maloy, Kecamatan Sangkulirang senilai Rp 8,3 miliar (dikerjakan CV Permata Group), pembangunan Rutan Polres Kutim senilai Rp 1,7 miliar (CV Bebika Borneo), serta peningkatan jalan Kecamatan Rantau Pulung senilai Rp 9,6 miliar (CV Bulanta). Kemudian optimalisasi pipa air bersih PT GAM senilai Rp 5,1 miliar dan pemasangan lampu Jalan APT Pranoto senilai Rp 1,9 miliar (PT Pesona Prima Gemilang).
Sementara Deky mengerjakan proyek di Dinas Pendidikan senilai Rp 40 miliar. ”Jadi, rekanan ini telah mengerjakan proyek di Kutai Timur,” jelas mantan ketua Pengadilan Negeri (PN) Samarinda itu. Nawawi menambahkan, uang pemberian rekanan itu dimasukkan Musyaffa ke beberapa rekening. Yakni Bank Syariah Mandiri sebesar Rp 400 juta, Bank Mandiri Rp 900 juta, dan Bank Mega Rp 800 juta.