Perlu Kaji Ulang Hambatan di Sektor Pangan

- Minggu, 5 Juli 2020 | 10:35 WIB

JAKARTA - Kebijakan hambatan non tarif atau Non Tariff Measures (NTM) dalam perdagangan dinilai berpotensi berdampak pada ketahanan pangan di Indonesia jika diimplementasikan secara berlebihan. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai bahwa penerapan NTM memengaruhi kualitas, kuantitas, dan harga makanan di pasaran.

Kepala Peneliti CIPS Felippa Amanta menyebut bahwa penerapan NTM yang diharapkan dapat melindungi konsumen justru bisa merugikan masyarakat sebagai konsumen. ”Penerapan NTM pada perdagangan pangan berkontribusi pada tingginya harga komoditas pangan, terutama pada komoditas penting yang kenaikan harganya berdampak besar pada tingkat konsumsinya di masyarakat,” ujarnya, (3/7).

Dia menjelaskan penerapan NTM pada sektor pangan terbilang banyak kalau dibandingkan dengan sektor lainnya. Undang-Undang Nomor 18/2012 tentang Pangan mengizinkan impor pangan hanya ketika produksi dalam negeri dan stok yang tersisa tidak mencukupi atau jika suatu komoditas tidak diproduksi di Indonesia.

Menurut Felippa, Indonesia dapat mengimpor makanan melalui sistem perizinan yang mengalokasikan kuota impor. Sistem perizinan dan kuota adalah proses Kementerian Perdagangan memberikan surat persetujuan impor (SPI) beserta kuota impor yang diizinkan kepada importir tertentu setelah rapat koordinasi khusus dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Pertanian untuk memutuskan impor.

Sederet regulasi tersebut, lanjut Felippa, membuat impor pangan kerap kali kehilangan momentum yang tepat, yaitu saat harga di pasar internasional sedang murah, serta tidak cukup cepat merespons adanya kenaikan harga di pasar. Sehingga saat komoditas yang diimpor memasuki pasar Indonesia, keberadaannya tidak cukup sukses untuk menstabilkan harga di pasar yang sudah terlanjur tinggi. Tingginya harga pangan akan memengaruhi konsumsi masyarakat. "Hal ini akan memengaruhi konsumsi, terutama konsumsi keluarga yang tergolong miskin. Mereka akan cenderung memilih komoditas pangan yang lebih murah yang biasanya memiliki kandungan gizi lebih sedikit," kata tegasnya.

Berdasarkan Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian 2019, konsumsi Indonesia sebagian besar terdiri dari padi-padian seperti beras yang merupakan 39,55 persen dari pasokan kalori harian Indonesia. Sementara itu, konsumsi makanan bergizi seperti daging, ikan, buah-buahan, dan sayuran masih rendah. Konsumsi rata-rata buah dan sayuran masing-masing adalah 171,33 gram dan 119,82 gram per hari. Jumlah ini masih di bawah jumlah yang direkomendasikan WHO yaitu sekitar 200 gram per hari.

CIPS juga memaparkan data nilai atau skor Indonesia dalam Indeks Kelaparan Global meningkat dari 24,9 pada 2010 menjadi 20,1 pada 2019. Namun, peningkatan ini belum mampu mengangkat posisi Indonesia dari kategori tingkat kelaparan yang serius. Nilai Indonesia lebih rendah daripada Malaysia (13,1) dan Vietnam (15,3) yang berada pada tingkat kelaparan sedang serta Thailand (9,2) yang berada pada tingkat kelaparan rendah.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi penerapan NTM yang tersebar di beberapa kementerian dan lembaga yang pada akhirnya sudah menjadi kebijakan yang tumpang tindih. ”Pemerintah perlu mengidentifikasi dan meninjau ulang efektivitas NTM di sektor pangan dan pertanian,” pungkas Felippa. (agf)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB

Di Berau Beli Pertalite Kini Pakai QR Code

Sabtu, 20 April 2024 | 15:45 WIB

Kutai Timur Pasok Pisang Rebus ke Jepang

Sabtu, 20 April 2024 | 15:15 WIB

Pengusaha Kuliner Dilema, Harga Bapok Makin Naik

Sabtu, 20 April 2024 | 15:00 WIB
X