BONTANG – Jumlah pendaftar di beberapa sekolah kawasan pesisir sangat minim. Saban tahun kuota yang tersedia selalu tidak terpenuhi. Kepala SD 016 Bontang Selatan Eka Wahyuni mengatakan, hingga hari terakhir pendaftaran, secara luring baru mendapatkan 12 calon siswa baru.
Angka tersebut mendaftar saat jalur zonasi satu dibuka. Mengingat lokasi sekolah berada di pulau pesisir yakni Tihi-Tihi. Rincian usianya tertua 7 tahun 5 bulan dan termuda 6 tahun 1 bulan. “Otomatis semua ini diterima. Pendaftar semuanya berasal dari Tihi-Tihi,” kata Eka.
Padahal kuota sekolah ini yang tersisa 32 slot. Tergabung dalam satu rombongan belajar (rombel) nantinya. Angka ini sedikit meningkat dibandingkan tahun lalu. Pasalnya, hanya 10 siswa baru yang didapatkan oleh pihak sekolah.
Saat pendaftaran, orangtua mengisi formulir dan melengkapi persyaratan yang diminta sekolah. Cakupan wilayah terbatas menjadi faktor sedikitnya pendaftar. Eka berpandangan, angka ini telah sesuai berdasar jumlah anak usia sekolah di lokasi tersebut.
Kondisi serupa juga terjadi di SD 015 Bontang Selatan. Kepala sekolah itu Titik Purwatiningsih menyampaikan bahwa baru mendapatkan tiga calon siswa baru. Jumlah itu pun sudah maksimal. Berdasarkan lulusan dari PAUD Anggrek yang berada di lokasi sama yakni Pulau Selangan.
“Penduduk di sini sedikit. Hanya 27 kepala keluarga. Angkatan tahun ini hanya tiga ini,” ucap Titik.
Dibandingkan tahun lalu, jumlahnya mengalami sedikit penurunan. Sebab, tahun ajaran 2019/2020, sekolah ini memperoleh empat siswa baru. Potensi dari kawasan darat untuk bersekolah di sekolah ini terbilang kecil karena harus menempuh perjalanan laut menggunakan kapal selama 30-45 menit.
Senada, Kepala SD 014 Bontang Selatan Masitah hanya mendapatkan empat pendaftar di tahun ajaran baru ini. Rinciannya tiga putra dan satu putri. Menurutnya, ada dua aspek kendala masyarakat sekitar kawasan Lok Tunggul enggan memilih menyekolahkan buah hatinya di sekolah yang dipimpinnya.
Faktor pertama umumnya orangtua tidak memiliki sarana transportasi. Akibatnya lebih memilih putra-putrinya dimasukkan ke sekolah swasta yang jarak tempuhnya lebih dekat. “Biasanya mereka menebeng pekerja di PLTU untuk berangkat ke sekolah,” kata dia.
Selain itu, akses menuju SD 014 sangat jelek. Terlebih ketika musim hujan. Setelah melewati kawasan PLTU Teluk Kadere, pelajar dihadapkan jalan tanah liat yang becek. Tak jarang kendaraan roda dua yang melintas harus terjebak dan didorong.
“Setelah menumpang, mereka jalan sekira satu kilometer. Kalau hujan, kawasan sekolah pun banjir,” pungkasnya. (*/ak/kri/k16)