Ombudsman Sebut Jadi Lahan Komersial, Pertanyakan Rapid Test sebagai Syarat Perjalanan

- Kamis, 2 Juli 2020 | 15:00 WIB

JAKARTA Hasil rapid test dan swab test Covid-19 sebagai syarat masyarakat menggunakan transportasi umum terus disorot. Ombudsman RI (ORI) menyebutkan, syarat itu banyak dikeluhkan calon penumpang kereta api dan pesawat udara lantaran berbayar.

Di sisi lain, perusahaan bus sama sekali tidak mewajibkan syarat tersebut. Padahal, moda-moda transportasi itu sama-sama mengangkut penumpang. “Apakah (syarat rapid test/swab test) masih diperlukan?" kata anggota ORI Alvin Lie dalam sebuah diskusi di Jakarta (1/7).

Parahnya, kata Alvin, tes itu kini menjadi lahan komersial. Di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), misalnya. ORI menemukan jasa rapid test berbayar di bandara internasional itu dengan harga promosi. “Sekarang ada layanan drive thru (rapid test di Bandara Soetta) dan sudah ada tulisannya dengan harga promosi,” ungkap Alvin.

Dia menilai, sudah ada persaingan dalam jasa rapid test tersebut. Sebagian maskapai penerbangan, misalnya, menawarkannya dengan harga Rp 100 ribu. Ada pula yang memasukkan biaya tes dalam harga tiket. “Sedangkan yang di luar airlines ini masih dengan harga sekitar Rp 275 ribu sampai Rp 300 ribu. Itu sudah turun dari (sebelumnya) harga Rp 550 ribu,” paparnya.

Menurut Alvin, persaingan harga rapid test itu harus menjadi perhatian serius pemerintah. Apalagi, rapid test yang ditawarkan terkadang hanya formalitas. Pemerintah, kata Alvin, harus transparan terkait biaya rapid test agar tidak terjadi persaingan yang merugikan masyarakat. “Sekarang ini rapid test itu hanya satu kali sebagai formalitas untuk bepergian, padahal seharusnya dua kali,” kata dia.

Bukan hanya soal harga, Alvin meminta pemerintah terbuka terkait siapa saja importer alat rapid test tersebut. Sebab, dia khawatir alat untuk mendeteksi Covid-19 itu hanya “dikuasai” segelintir orang. “Hal-hal seperti ini pemerintah harusnya transparan kepada publik,” terangnya.

Sementara itu, dua lawyer Muhammad Sholeh dan Singgih Tomi Gumilang menyampaikan bahwa gugatan melawan ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 kepada Mahkamah Agung (MA) sejak Selasa (30/6).

Kali ini laporan mereka menegaskan permintaan uji materi agar rapid test ditiadakan. Aturan yang digugat adalah Ketentuan Huruf F ayat (2) huruf b dalam SE Nomor 9 Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. “Kami menuntut dihapus kewajiban rapid test ini. Bukan untuk diubah masa berlakunya,” tegas Sholeh.

Semula, SE itu mengatur agar penumpang pesawat, kereta api, dan kapal wajib menyertakan rapid test nonreaktif untuk penumpang jika ingin bepergian. Masa berlakunya tiga hari untuk rapid test. Aturan tersebut kemudian diubah menjadi 14 hari atau dua minggu. “Meski sudah diubah, ini tetap menyusahkan penumpang. Sebab, tidak semua penumpang orang kaya,” lanjut Sholeh.

Biaya rapid test yang rata-rata Rp 300 ribu dirasa memberatkan banyak masyarakat yang perlu bepergian. Sholeh berharap, permohonan uji materi yang sudah mereka layangkan hingga dua kali itu mendapat perhatian dari MA. Gugatan telah diterima panitera muda tata usaha negara pada MA. (tyo/deb/fal/rom/k16)

 

 

 

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Garuda Layani 9 Embarkasi, Saudia Airlines 5

Senin, 22 April 2024 | 08:17 WIB
X