Berharap Kinerja Batu Bara Membaik

- Kamis, 2 Juli 2020 | 13:57 WIB
GENJOT PRODUKSI: Kembalinya kegiatan industri dan perekonomian di beberapa negara pengimpor membuat harga batu bara perlahan naik. Saat ini berkisar di level USD 56,85 per ton.
GENJOT PRODUKSI: Kembalinya kegiatan industri dan perekonomian di beberapa negara pengimpor membuat harga batu bara perlahan naik. Saat ini berkisar di level USD 56,85 per ton.

BALIKPAPAN–Pergerakan harga batu bara dalam sepekan terakhir terus menanjak, sejalan dengan membaiknya tren harga komoditas global. Kondisi ini diharapkan bisa menggerakkan ekonomi Bumi Etam. Adapun harga batu bara sejak 19–26 Juni 2020 pada kontrak Oktober 2020 tercatat naik 0,71 persen dari USD 56,45 per ton menjadi USD 56,85 per ton.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan, penurunan produksi dan penjualan pada kuartal II 2020 akan terjadi karena permintaan yang menurun karena pandemi Covid-19 ini. "Performa produksi di kuartal 2 diproyeksi lebih rendah dari kuartal I dan kuartal II tahun lalu karena rendahnya permintaan Tiongkok, India, Malaysia, Thailand, dan Filipina, termasuk melemahnya konsumsi batu bara di dalam negeri," ujarnya, Selasa (30/6).

Menurut dia, dengan adanya penurunan permintaan batu bara dibandingkan dengan tahun lalu akan berdampak pada revisi rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB). "Ini dilakukan apabila rencana produksi dan penjualan sudah tidak sesuai lagi dengan rencana yang diajukan sebelumnya. Apalagi juga menyangkut pandemi Covid-19 yang secara global akan memengaruhi semua industri terutama adanya pengurangan pemakaian tenaga listrik," katanya.

Saat ini, perusahaan tambang harus mengikuti protokol Covid-19 yang dikeluarkan pemerintah seperti social dan physical distancing. Pengaturan itu diperlukan di internal perusahaan untuk mencegah penularan Covid-19 ke karyawan. "Dampaknya bisa menurunkan produktivitas, worse case jika kasus positif banyak terjadi di tambang, tambang bisa ditutup untuk sementara," tutur Rizal.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar menuturkan, produksi dan penjualan batu bara di kuartal II cenderung stagnan mengingat dampak Covid-19 diperkirakan baru akan terasa di kuartal II. "Kalaupun ada potensi kenaikan tidak akan signifikan jika hal tersebut dipicu kenaikan permintaan dari Tiongkok jika perekonomiannya sudah mulai recovery," ucapnya.

Adapun prospek kuartal III dan sampai akhir tahun diperkirakan masih memungkinkan untuk ada kenaikan produksi meski sangat berat untuk bisa mencapai target realisasi produksi tahun ini. "Sejauh ini belum ada regulasi pemerintah yang menghambat kinerja perusahaan batu bara, bahkan beberapa kebijakan sangat menguntungkan perusahaan. Namun tetap dibutuhkan insentif," tutur Bisman.

Komite Tetap Pengembangan Energi Batu Bara Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Kaltim Nazarudin mengatakan, saat ini pengusaha sudah merasakan anjloknya harga batu bara. Efisiensi sudah mulai dilakukan. Bukan lebih dampak Covid-19, tapi merosotnya harga batu bara acuan. “Pada 2014, harga batu bara anjlok, ya mau tidak mau kita mengencangkan ikat pinggang. Sekarang ini yang kami butuhkan policy dan solusi. Semuanya ada di pemerintah,” terangnya.

Menurut dia, saat ini regulasi yang ada tidak berimbang. Di Kaltim contohnya seolah-olah dibiarkan saja. Bahkan, IUP sekarang dibatasi. Di sisi lain, batu bara masih menjadi penyumbang PDRB tertinggi di Kaltim. Paling tidak, kebijakan yang dibuat berimbang juga ke pengusaha. Kemudian, konsumsi dalam negeri juga belum maksimal. Dari masalah pembayaran dan harga, lokal masih belum seksi di mata pengusaha.

“Tapi, pemerintah perlu menggaungkan konsumsi lokal. Yang penting harga masuk, dan kalau terjadi penurunan harga acuan batu bara tidak terlalu berdampak,” terangnya.

Dia berharap, Gubernur kali ini bisa memberikan ruang bagi perusahaan tambang. Dibatasi boleh, tapi harus jelas. Perizinan dan peraturan yang dikeluarkan diharapkan mampu menggerakkan roda ekonomi Kaltim. Menguatnya harga batu bara diharapkan bisa menjadi angin segar.

“Kita tahu, kalau harga batu bara ini anjlok pasti berpengaruh kepada kondisi ekonomi. PDRB sangat mendominasi, turun dikit saja sudah memberikan pengaruh besar. Kalau kondisi membaik ekonomi kita juga pasti akan membaik,” terangnya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat total produksi batu bara sepanjang Januari–Mei 2020 sebanyak 228 juta ton. Realisasi itu turun 10 persen dari periode yang sama pada 2019, yakni 250,3 juta ton. "Penurunan ini disebabkan pandemi virus corona," ungkap Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Sujatmiko.

Dia menjelaskan target produksi batu bara tahun ini mencapai 550 juta ton. Artinya, realisasi produksi per Mei 2020 baru menyentuh 42 dari target yang ditetapkan. "Produksi kami rencanakan 550 juta ton. Untuk Mei 2020 sudah 42 persen jadi rasa-rasanya target 550 juta ton bisa tercapai," ucap Sujatmiko.

Sementara itu, realisasi penggunaan batu bara untuk kepentingan domestik (domestic market obligation/DMO) tercatat sebanyak 43,5 juta ton. Angkanya baru 28 persen dari target yang sebanyak 155 juta ton. "Realisasi penggunaan batu bara untuk kepentingan dalam negeri di bawah target, ini disebabkan turunnya permintaan batu bara oleh PT Perusahaan Listrik Negara," jelasnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Transaksi SPKLU Naik Lima Kali Lipat

Jumat, 19 April 2024 | 10:45 WIB

Pusat Data Tingkatkan Permintaan Kawasan Industri

Jumat, 19 April 2024 | 09:55 WIB

Suzuki Indonesia Recall 448 Unit Jimny 3-Door

Jumat, 19 April 2024 | 08:49 WIB

Libur Idulfitri Dongkrak Kinerja Kafe-Restoran

Kamis, 18 April 2024 | 10:30 WIB

Harga CPO Naik Ikut Mengerek Sawit

Kamis, 18 April 2024 | 07:55 WIB

Anggaran Subsidi BBM Terancam Bengkak

Selasa, 16 April 2024 | 18:30 WIB

Pasokan Gas Melon Ditambah 14,4 Juta Tabung

Selasa, 16 April 2024 | 17:25 WIB

Harga Emas Melonjak

Selasa, 16 April 2024 | 16:25 WIB
X