Dianggap hanya untuk anak-anak “buangan” dari sekolah, homeschooling masih dipandang sebelah mata banyak orangtua.
M RIDHUAN, Balikpapan
DUA tahun lalu, saat duduk di kelas XI jurusan Tata Boga, Jasmine Humairah akhirnya memberanikan diri untuk meminta kepada ibunya, Syarifah Wardah, agar mengeluarkannya dari SMK negeri tempatnya bersekolah.
Dia khawatir, di sisa setahunnya mengenyam pendidikan, pikiran dan mentalnya tidak akan kuat menghadapi pelajaran yang diberikan sekolah. Dan masa depan yang dia inginkan akan pupus. “Saya bilang ke mama mau homeschooling saja,” kata Jasmine, Senin (22/6) lalu.
Keputusan Jasmine untuk tidak melanjutkan pendidikan formal sebenarnya sudah ada sejak dia duduk di bangku SMP. Menumpuknya tugas, tak mampu menangkap pelajaran dari guru, hingga memaksakan diri untuk belajar sesuatu yang dirinya tidak suka. Begitu banyak beban yang disebutnya mengganggu pikiran. “Saya sadar apa yang dijelaskan oleh guru tidak masuk ke otak. Dan yang paling jengkel, apa yang diajarkan sering tidak masuk dalam soal ujian,” ujarnya.
Metode belajar di sekolah yang tidak cocok ditutupinya dengan belajar secara mandiri. Cara itu yang disebut membawanya menjadi murid berprestasi. Sejak SD, dia sudah meraih ranking. Minimal menjadi nomor dua di kelas. Pernah mendapatkan beasiswa di kelas VI SD, di SMP dan SMK pun dia tetap berprestasi. “Tapi itu, tingkat stres saya tinggi. Suka paranoid, gelisah duluan kalau mau mengerjakan tugas atau ujian,” ujarnya.
Momentum untuk memutuskan keluar dari SMK terjadi saat kelas X. Dia melihat kakak kelasnya uring-uringan menghadapi uji kompetensi. Di mana guru memberikan tugas kepada siswanya untuk membuat resep masakan. “Di sana saya benar-benar berpikir bagaimana stresnya ketika berada di posisi kakak kelas saya. Saya ketakutan,” ujarnya.
Perempuan kelahiran 31 Agustus 2002 itu awalnya mengetahui metode homeschooling dari menonton televisi. Yang menunjukkan banyak artis dan pelaku seni di Ibu Kota yang tidak bersekolah. Baginya, hal itu menjadi jalan keluarnya agar bisa tetap menggapai masa depan tanpa harus berjibaku dengan kehidupan sekolah formal. “Saya introvert. Kurang suka bergaul. Di sekolah pun kalau istirahat hanya di kelas saja,” ungkapnya.
Beruntung, orangtua Jasmine tidak keberatan dengan keputusan anak mereka. Sang ibu, Syarifah Wardah bahkan membantu mencarikan referensi soal sekolah rumah. Dalam prosesnya, dirinya sempat ragu status homeschooling. Pasalnya, dari banyak masukan orangtua lain, banyak anak yang menjalani metode itu karena terpaksa. “Jadi homeschooling disebut hanya untuk anak-anak ‘buangan’. Yang sudah enggak sanggup ditangani guru akhirnya dipaksa keluar dari sekolah,” jelasnya.
Namun, Wardah tak mengurungkan upaya agar anaknya bisa menempuh pendidikan informal tersebut. Namun di sisi lain, dia juga tidak ingin masa depan anaknya menggantung tanpa ijazah. Mencari lembaga pendidikan nonformal yang bisa membantu pun jadi jalan keluar. “Ternyata ada, namun mahal. Uang masuknya saja Rp 12 juta. Dan per semesternya dipatok Rp 4 juta,” ucap Wardah yang mendampingi Jasmine saat diwawancara awak Kaltim Post.
Pencarian soal legalitas mengarahkannya ke sebuah komunitas homeschooler. Dari situ, dia akhirnya paham esensi dari sekolah rumah. Dan dari sisi biaya pun, untuk mendapatkan ijazah lebih murah jika dibandingkan sekolah formal di negeri sekalipun. “Di SMK sebelumnya itu memang enggak ada uang SPP. Tapi setiap bulan pasti ada kegiatan praktik yang memerlukan biaya dari orangtua. Dan itu sering,” ungkapnya.
Setelah naik kelas, Wardah secara resmi mengeluarkan anaknya dari pendidikan formal. Dalam prosesnya, dia melihat Jasmine lebih menikmati kehidupan. Dan bisa fokus dalam mencari tujuan yang sebelumnya dihalangi jurusan sekolah. “Dia masuk SMK itu juga terpaksa. Dia paling suka pelajaran agama. Tapi karena sekolah yang diinginkan jauh dari rumah, jadi memilih di sana saja,” ungkapnya.
Sejak keluar dari sekolah, banyak hal yang bisa dikerjakan anaknya tanpa mendapat tekanan. Berkat homeschooling, anaknya mengetahui bakat yang dimiliki. Dan akhirnya bisa menentukan ke mana arah pendidikannya. “Ada mapping talent. Jadi, Jasmine akhirnya tahu dirinya lebih cocok berkecimpung sebagai psikolog atau guru. Dan satu lagi, dia jago bahasa Inggris,” tuturnya.