Test Ratio Masih Sangat Rendah, Menanti uji Covid-19 Lebih Banyak Lagi

- Senin, 22 Juni 2020 | 18:10 WIB
ilustrasi
ilustrasi

Masih terlalu dini untuk menilai apakah penularan Covid-19 di Indonesia masih tinggi atau sudah menurun. Sebab, jumlah orang yang dites sehubungan dengan penyakit tersebut juga tak kunjung naik secara signifikan.

 

DATA yang disajikan tim Kawal Covid-19 menunjukkan testing ratio untuk Covid-19 di Indoensia masih rendah. Testing ratio ini menunjukkan rerata jumlah orang baru yang dites per satu kasus positif baru. Testing ratio bisa dijadikan tolok ukur awal apakah sebuah negara sudah siap untuk mengakhiri pandemi Covid-19.

Test ratio itu juga dijadikan tolok ukur di berbagai negara untuk melihat apakah pandemi di wilayah-masing-masing sudah mulai mereda. Situs worldometer menjadikan test ratio sebagai bagian dari kompilasi sejumlah datanya. ’’Tidak ada satupun negara dengan testing ratio yang kurang dari 10 yang sebenarnya menyelesaikan pandemi ini,’’ Terang perwakilan tim data Kawal Covid-19 Ronald Bessie.

 Cara menghitungnya adalah membagi jumlah orang yang dites dengan jumlah kasus positif. Hasilnya, sepekan terakhir testing ratio Indonesia masih berkutat di angka 8, dengan tren yang terus menurun. Per kemarin (21/6), testing ratio di Indonesia hanya 8,35. Artinya, dari 1 kasus positif ada 8-9 orang baru yang dites virus menggunakan metode swab.

Untuk mencari tahu siapa saja yang tertular, PCR tes menjadi andalan. Namun, ketika yang dites masih sedikit, tidak bisa menunjukkan apa-apa selain jumlah kasus yang terus bertambah. Karena penularan Covid-19 bersifat eksponensial, cara satu-satunya untuk memetakan penularannya adalah dengan memperbanyak orang yang dites.

Cara tersebut ibarat nelayan menjala ikan. Dengan sekali menjala, nelayan bisa mendapatkan 500 ikan lemuru dan 30 ekor tuna. Karena yang diincar adalah tuna, jala pun dilebarkan. Maka sekali menjala dia bisa mendapatkan 80 ribu ekor lemuru dan 250 ekor tuna.

 Begitu pula dengan tes Covid-19. Semakin banyak yang dites, maka semakin banyak pula kasus positif yang potensial terjaring. Sebagai bahan pemetaan kasus, penambahan kasus baru yang semakin banyak justru memudahkan pemetaan. Untuk mendapatkannya, diperlukan jala yang besar. yakni, dengan mengetes sebanyak-banyaknya orang.

Menurut Ronald, Indonesia cukup beruntung karena ada sistem tracing yang berjalan. Hanya saja, tracing tersebut tidak diikuti dengan tes . Setelah di-tracing, ketemu, bila tidak ada gejala tidak dites. Atau kontaknya dinilai tidak cukup erat dengan pasien, itu juga tidak dites atau diisolasi. Padahal, seharusnya semua hasil pelacakan itu dites atau minimal diisolasi tanpa kecuali.

Bila mereka menolak dites, konsekuensinya adalah wajib isolasi mandiri selama 14 hari. Bila saat isolasi dia bergejala, baru dirawat di RS. Jika tidak mau isolasi, maka harus mau dites swab. Kalau hasilnya negatif dia tidak perlu isolasi.

 Untuk Indonesia, bila ingin  mengetahui sebaran penyakitnya, maka testing ratio minimal harus 25. Menurut Ronald, harusnya lebih banyak dari itu. namun setidaknya 25 bisa menjadi acuan minimal. Malaysia misalnya, testing ratio di negara itu mencapai 80 lebih. Vietnam lebih tinggi lagi, yakni 600. Artinya tiap satu termuan kasus positif ada 600 orang baru yang dites. ’’Makanya jumlah kasus mereka (Vietnam) sedikit. Mereka sudah keburu nangkep semua ikannya sebelum lepas,’’ ucap Ronald.

                Karena itu, Indonesia tidak bisa langsung bernafas lega bila tes perhari nantinya bisa tembus 20 ribu. ’’Kalau kita ambil katakanlah 1.500 kasus perhari, kira-kira kita harus punya kapasitas tes sebesar 40 ribu perhari,’’ tutur Ronald. Tanpa tes yang banyak, kita akan kesulitan menjala kasus yang penularannya semakin ke mana-mana.

                Dengan dukungan sistem tracing yang berjalan saat ini, Indonesia tidak harus melakukan random test untuk saat-saat sekarang. Karena lokasi orangnya sudah diketahui. Tinggal dites untuk memastikan apakah dia positif atau negatif Covid-19.

                Untuk mencapai jumlah tes yang ideal, maka kemampuan tesnya juga harus ditambah. Menurut Ronald, saat ini pemerintah tidak perlu membangun lab BSL 2 yang baru. ’’Cukup dengan lab BSL 1 yang di-upgrade,’’ ujarnya. Biayanya lebih murah ketimbang membangun yang baru. Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung melakukan hal itu.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Garuda Layani 9 Embarkasi, Saudia Airlines 5

Senin, 22 April 2024 | 08:17 WIB
X