BALIKPAPAN- Pasar Timur Tengah menjadi salah satu tujuan ekspor kayu lapis dari Kaltim. Baru-baru ini, olahan kayu Bumi Etam berhasil menembus pasar Uni Emirat Arab (UEA). Kepala Balai Karantina Kelas I Balikpapan Abdul Rahman mengatakan, kebutuhan kayu lapis di negara tersebut dipasok dari Kaltim. Bukan hanya UEA, Oman juga memasok kebutuhan kayu lapis dari Kaltim.
“Pasar Timur Tengah bisa menjadi peluang kita,” kata Abdul Rahman. Menurutnya, kayu lapis asal Kaltim begitu diminati dan sudah melanglang buana di luar negeri. Tercatat pekan lalu, sebanyak 2.362.369 meter kubik dengan nilai Rp 17 miliar telah diterbitkan 6 Phytosanitary certificate yang akan dikirim ke Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) dan Oman.
Setelah sebelumnya dilakukan pemeriksaan dengan target serangga kumbang tepung nama latin Lyctus brunneus di gudang plywood yang terletak di Penajam Paser Utara. Pejabat karantina tumbuhan memastikan kayu lapis aman dan bebas dari OPTK. Kayu lapis asal Kaltim ini pun segera berlayar ke Dubai.
Berdasarkan data IQ-fast, tahun ini hingga 20 Juni lalu ekspor ke Timur Tengah sebanyak 42 kali dengan volume 11.580.625 meter kubik dengan nilai Rp 112 miliar. Nilai yang cukup fantastis hingga pertengahan tahun ini. Semangat Gerakan Tiga Kali Lipat Ekspor (Gratieks) terus digelorakan di tengah fase kenormalan baru ini menuju pertanian Indonesia yang lebih maju.
Meskipun ekspor kayu lokal dilirik Timur Tengah, namun sejumlah kebijakan masih dinilai memberatkan eksportir. Seperti kebijakan penerapan sertifikat verifikasi legalitas kayu (SVLK) secara wajib kepada seluruh eksportir produk kayu dinilai akan membebani industri hilir kayu, terutama yang berskala kecil dan menengah.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Jaringan Pemerhati Industri dan Perdagangan (JPPI) Lintong Manurung mengatakan, penerapan SVLK terhadap 5.000 perusahaan eksportir produk industri hilir kayu yang sebagian besar berskala kecil dan menengah akan membebani dunia usaha tersebut dengan beban administrasi dan prosedur yang rumit.
Selain itu, akan menimbulkan biaya yang tinggi yang diperkirakan akan membebani eksportir sebesar Rp 30 juta per perusahaan. "Penerapan SVLK sebaiknya hanya diberlakukan untuk produk-produk industri hulu kayu dan tidak diberlakukan untuk produk-produk industri hilir kayu," katanya. (aji/ndu/k15)