Berharap Tes Swab Segera Jadi Standar Pemeriksaan

- Sabtu, 20 Juni 2020 | 11:44 WIB
ISOLASI: Dokter Tri Maharani beserta tim medis RS Gambiran Kediri, tempat dia menjalani perawatan sejak 13 Juni lalu. TRI MAHARANI FOR JAWA POS
ISOLASI: Dokter Tri Maharani beserta tim medis RS Gambiran Kediri, tempat dia menjalani perawatan sejak 13 Juni lalu. TRI MAHARANI FOR JAWA POS

Dr dr Tri Maharani MSi SpEM harus menukar sementara jas putih yang biasa dikenakan saat bertugas dengan baju pasien. Dokter yang dikenal jago menangani bisa ular itu terkonfirmasi Covid-19. Begitu pulang dari rumah sakit (RS), dia punya tekad membuat alat rapid PCR.

Adinda Azmarani, Surabaya, Jawa Pos

”Aku ini diberi kesempatan hidup kedua oleh Tuhan,” kata dokter Maha (sapaan dr Tri Maharani) saat bercerita melalui telepon (18/6). Dia bertutur bahwa sejumlah kenalannya masuk daftar puluhan dokter yang meninggal karena Covid-19. ”Sungguh luar biasa sembuh,” ucapnya.

Dari dua kali tes swab yang dilakukan pada Senin dan Selasa lalu, dokter spesialis emergensi itu dinyatakan negatif. Sesuai standar WHO, dia dinyatakan sembuh. Tapi, dia belum pulang. Virus Sars-CoV-2 membuatnya terkena pneumonia. Pagi ini rencananya dia menjalani CT scan toraks untuk melihat kondisi paru-parunya. ”Untuk pulang, semua kelainan itu harus sudah benar-benar minimal,” ucap perempuan 48 tahun tersebut.

Maha merasa tertular Covid-19 dari seorang petugas laundry di RS Daha Kediri, tempat dia bertugas. Seorang pria paro baya yang merasakan batuk, sesak napas, mual, dan demam. ”Saya pikir, ’Waduh, ini kan gejala Covid-19. Mau enggak Pak saya antar ke Tulungagung?’” katanya.

Maha menawari pasien tersebut memeriksakan diri ke RS rujukan Covid-19 di kota sebelah. Sebab, di RS tempatnya tidak disediakan tes swab. Bersama anak dan istri pasien itu, Maha berangkat ke Tulungagung. Maha sendiri menyadari bahwa kondisinya sedang sangat lelah karena bekerja 16 jam sehari sebelumnya.

Sesampai di sana, pasien drop dan dilarikan ke UGD. ”Dari hasil pemeriksaan, hasilnya kurang bagus. Secara patologis klinis dia dinyatakan suspect Covid-19. Tapi, rapid test-nya nonreaktif,” katanya.

Pasien kemudian dirawat inap dan Maha memutuskan pulang. Sebelumnya Maha juga sudah menjalani rapid test dan hasilnya nonreaktif. Keesokan harinya pada 6 Juni seorang dokter kenalan Maha menawari tes swab gratis. Syaratnya hanya mengurus berkas BPJS Kesehatan. Melihat kondisi petugas laundry itu, tanpa pikir panjang Maha mengiyakan. Sekaligus meminta dirinya dan beberapa rekan tenaga medisnya ikut dites. Pada 11 Juni hasil tes keluar. Maha dinyatakan terkonfirmasi Covid-19. ”Rasanya kayak kena petir, tapi ya bagaimana lagi? Aku kan dokter, harus bisa menghadapinya,” tutur dia.

Setelah melapor ke dinas kesehatan setempat, Maha menjalani karantina mandiri di rumah. Namun, baru dua hari di rumah, dia merasa tidak aman. ”Di rumah banyak orang dan anak-anak. Kalau mereka tidak terproteksi menyeluruh, kasihan,” kata dokter yang sempat menjadi relawan di RS rujukan Covid-19 RSPI Sulianti Saroso Jakarta selama dua minggu itu.

Selain itu, yang bikin Maha tidak nyaman adalah respons orang-orang di sekitar. Begitu dia dinyatakan positif, rasanya semua orang jadi panik. Ketua RT, RW, sampai camat menghubungi keluarganya. Wali kota juga mengumumkannya di radio. Keluarga Maha mendapat banjir telepon. Tak sedikit yang bernada negatif. ”Saking banyaknya tekanan masyarakat, sampai kakak ikut menyalahkan, kok aku bisa kena. Ya aku bilang, enggak tahu Mbak, wong sudah proteksi maksimal,” jelasnya.

Beberapa pasiennya juga menelepon. Khawatir ketularan. Namun, Maha menyebut risiko itu kecil sekali. Selama bertugas, dia selalu melengkapi diri dengan APD level III. Tidak ada sentuhan langsung dan setiap pertemuan hanya berjalan 1–5 menit. ”Tapi, untuk mereka yang tetap khawatir, ya enggak apa-apa kalau mau tes,” katanya.

Hari itu Maha kemudian menelepon Pelayanan Gawat Darurat Public Safety Center (PSC) 119. Dia dijemput untuk periksa ke RS Kilisuci Kediri. Menjalani tes darah dan foto toraks, diketahui ternyata Maha terkena pneumonia. Gula darahnya juga mendadak tinggi. ”Bahaya sekali kan Covid ini. Tak sampai seminggu saya yang awalnya segar bugar, sudah begitu,” ujarnya.

Menyadari kondisinya tidak baik-baik, Maha mengambil opsi untuk isolasi di RS Gambiran. Jika sebelumnya berstatus asimtomatis, karena ada pneumonia, kini dia masuk kategori bergejala alias simtomatis. Pada 6–11 Juni itu, Maha mengaku memang tak merasakan keluhan yang kuat. Paling hanya pegal-pegal. Dia menganggapnya karena lelah bekerja. Sampai dinyatakan terkonfirmasi, dia juga belum punya keluhan. Pada 13 Juni saat mulai isolasi itulah baru tubuhnya terasa sakit sekali. ”Di sekujur tubuh nyeri. Rasanya kayak orang dipukuli,” ceritanya.

Pada 14 Juni dini hari mulai pukul 12 sampai 3 Maha batuk terus. Namun, setelahnya kondisi berangsur membaik. Bisa tidur dengan nyenyak, juga makan dengan lahap. Obat yang diminum sebelum masuk RS adalah obat yang dianjurkan untuk pasien flu burung oseltamivir, antibiotik azitromisin, dan vitamin C. Dia mendapatkan resep dari rekannya seorang dokter paru yang juga survivor Covid-19.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X