Wacana Merger Pendidikan Agama dan Pancasila Diprotes

- Sabtu, 20 Juni 2020 | 11:09 WIB
ilustrasi
ilustrasi

JAKARTA– Wacana penggabungan mata pelajaran (mapel) pendidikan agama dan budi pekerja dengan pendidikan Pancasila oleh Kemendikbud menuai protes. Banyak kalangan menolak rencana tersebut. Khususnya dari kalangan guru pendidikan agama Islam (PAI).

Wacana merger dua mapel itu terungkap dalam bocoran slide atau paparan focus group discussion (FGD) yang digelar oleh Kemendikbud. Slide tersebut beredar luas di masyarakat. Menurut sejumlah informasi, FGD tersebut diselenggarakan sekitar dua pekan yang lalu. Di dalam slide tersebut tersaji dengan jelas perbandingan nama-nama mapel di Kurikulum 2013 (K13) dengan kurikulum baru. Kurikukulum baru itu tentunya masih dalam tahap kajian di Kemendikbud.

Ketua Umum Asosiasi Guru PAI Indonesia (AGPAII) Manhan Marbawi menuturkan sudah mendengar kabar dua mapel tersebut. Namun dia memastikan organisasinya tidak ikut serta dalam kegiatan FGD yang digelar Kemendikbud. Untuk itu dia berharap Kemendikbud beredia membuka pintu bagi AGPAII untuk klarifikasi. ’’Kami ingin tabayyun. Yang dimaksud Kemendikbud seperti apa,’’ katanya (18/6).

Dia menegaskan pada prinsipnya tidak setuju ada peleburan mapel agama atau PAI dengan pendidikan Pancasila. Dia menjelaskan dampak dari peleburan itu bisa mengakibatkan guru-guru PAI maupun PKN menganggur. Dampak lainnya bisa kehilangan kesempatan mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG). Dia mengatakan di seluruh Indonesia guru PAI mencapai 238 ribu orang.

Menurut Marbawi jika penggabungan dua mapel itu jadi dilaksanakan, pasti ada yang dikorbankan atau mengalah. ’’Kalau yang dominan PAI atau agama, nanti guru pendidikan Pancasilanya akan hilang,’’ katanya. Begitupun sebaliknya jika dari merger itu yang dominan adalah pendidikan Pancasila, maka guru pendidikan agama akan hilang.

Kalaupun rencana perubahan kurikulum itu ditujukan untuk menyederhanakan mapel di tengah wabah Covid-19, mekanisnya tidak harus dengan melebur mapel. Dia mengusulkan pemerintah bisa melakukan pengurangan materi yang diajarkan. Marbawi mencontohkan dalam satu tahun pelajaran, materi PAI ada 13 mater. Di tengah pandemi ini cukup diambil enam sampai delapan materi saja dalam satu tahun. Sehingga dalam satu semester cukup mempelajari dua sampai empat materi pelajaran. ’’Diambil materi yang prioritas,’’ tuturnya.

Anggota Komisi X (membidangi pendidikan) DPR Zainuddin Maliki mengatakan, rencana penggabungan pelajaran agama dengan PKN merupakan ide yang tidak kontekstual dan ahistoris.

"Artinya pemikiran seperti itu tidak memiliki akar budaya, akar kehidupan bangsa Indonesia yang religius," terang dia. Menurut dia, jika pendidikan agama digabung dengan PKN, maka jam pelajaran untuk agama akan berkurang dan sangat singkat. Hal itu tidak mencerminkan akar budaya bangsa.

Zainuddin mengatakan, para founding fathers merumuskan Pancasila dan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama, hal itu berangkat dari peta dan akar budaya bangsa Indonesia yang religius. Memang, kata dia, ada negara-negara barat yang menjadikan agama bukan sebagai mata pelajaran. "Tetapi itu kan akar budayanya berbeda dengan yang dimiliki bangsa Indonesia," ungkap dia.

Bahkan, lanjut legislator asal Dapil Jatim X itu, Inggris saja mengajarkan pelajaran agama mulai SD sampai perguruan tinggi. Agama yang diajarkan pun sangat beragam, karena jumlah siswanya cukup banyak dan berasal dari pemeluk agama yang berbeda-beda.

Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu mengatakan, sebenarnya UU Sisdiknas juga mempunyai konsep yang sama. Yaitu, setiap siswa diajarkan sesuai dengan agamanya masing-masing. Misalnya, kata dia, jika ada siswa Katolik yang sekolah di Madrasah, maka dia harus dijarkan agama Katolik, walaupun hanya satu siswa saja. Begitu juga sebaliknya, kata dia, kalau ada siswa Islam sekolah di Sekolah Katolik, maka sekolah itu harus mengajarkan agama Islam untuk siswa tersebut.

Jadi, lanjut Zainuddin, dia meminta agar jangan ada pemikiran dan rencana untuk melebur pelajaran agama dengan PKN. Sebab, peleburan itu tidak berdasar pada budaya bangsa yang religius. "Kalau ada pemikiran seperti itu, maka ini sama dengan mencerabut pendidikan dari akar budaya bangsa yang religius," tegasnya.

Kabar penggabungan tersebut langsung dibantah oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan (Balitbangbuk) Kemendikbud Totok Suprayitno. Ia menegaskan, bahwa itu hanya bagian dari dinamika diskusi internal tim kerja kurikulum. Sekadar diskusi awal. Bukan keputusan.

”Laporan terakhir yang saya terima, konstruksi kelompok mapelnya tidak digabung seperti itu. Tapi, tetap berdiri sendiri,” jelasnya. Totok mengatakan, sebetulnya banyak hal yang dibahas dalam diskusi tersebut. Termasuk soal penyederhanaan kurikulum untuk masa pandemi.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X