SAMARINDA–Tampuk komando Korps Adhyaksa Benua Etam berpindah tangan. Delapan bulan memimpin, Chaerul Amir kini bertugas di Gedung Bundar, sebutan Kejagung RI sebagai inspektur IV pada Jaksa Agung Muda Pengawasan. Kursi Kepala Kejati (Kajati) Kaltim pun beralih ke Deden Riki Hayatul Firman, mantan kajati Maluku Utara, 29 Mei lalu. Pemberantasan rasuah di Kaltim pun kini diembannya.
Setidaknya, ada dua perkara besar peninggalan Chaerul Amir yang menyita perhatian publik dan menanti “gocekan” akhir para beskal yang bermarkas di Jalan Bung Tomo, Samarinda Seberang. Dua kasus itu, dugaan manipulasi royalti pertambangan dan pengadaan lahan sirkuit di Kutai Timur.
Diwawancara media ini selepas melantik kepala Kejari Samarinda, Penajam Paser Utara (PPU), dan Nunukan. Deden mengaku masih menginventarisasi sejauh mana tafahus dua kasus tersebut. “Penyelesaian perkara yang ada pasti jadi fokus,” akunya.
Selepas dilantik Jaksa Agung Burhanuddin pada 29 Mei, dia baru bisa menginjakkan kaki ke Benua Etam pada 5 Juni 2020 selepas menjalani protokol kesehatan pencegahan pandemi Covid-19. Karena itu, perlu waktu mempelajari pekerjaan yang tak sempat diselesaikan pendahulunya, Chaerul Amir.
Itu pun tak hanya berkelindan soal rasuah. Penanganan pidana umum, perdata dan tata usaha negara hingga pengawasan pun bakal dievaluasinya secara menyeluruh untuk ditingkatkan. “Dibahas dulu apa saja tugas-tugas yang masih berjalan. Dipelajari,” sambungnya. Lebih lanjut, Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejati Kaltim Abdul Farid menerangkan, dua perkara itu terus ditelusuri unsur pidana hingga potensi kerugian negaranya.
“Selepas penetapan tersangka beberapa waktu lalu. Tim pidsus (pidana khusus) masih susun jadwal pemeriksaan saksi-saksi lanjutan,” katanya.
Royalti dan Tambang Ilegal di Tahura
Kasus royalti dan adanya praktik ilegal pertambangan mulai diendus para beskal selepas tim Satuan Tugas Pengamanan Usaha Pertambangan dan Kehutanan (Satgas PUPK) yang dibentuk Chaerul Amir menyisir keberadaan pengalian emas hitam di Samboja, Kutai Kartanegara, medio April lalu. Dari penelusuran tujuh industri ekstraktif itu, Kejati sudah menetapkan H dari CV JAR sebagai tersangka dalam kasus pertambangan, 22 Mei lalu.
Kejaksaan menilai ada indikasi memanipulatif laporan kualitas batu bara sehingga pembayaran royalti bisa lebih rendah. Dari praktik ini, tentu ada pendapatan nasional bukan pajak (PNBP) yang tak masuk ke kantong negara. Dari satu tersangka yang sudah ditetapkan itu, terungkap beberapa potensi lancung para pengusaha emas hitam. Dari memberdayakan bersama jetty oleh beberapa pemilik izin usaha pertambangan (IUP) hingga pengiriman jalur darat lewat kontainer.
Koordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kaltim untuk menelusuri potensi PNBP yang bocor sudah bergulir. Kejati sendiri menaksir ada sekitar Rp 7 miliar potensi kebocoran tersebut.
Lahan Sirkuit di Kutim
Sementara itu, pengadaan lahan untuk sirkuit di Kutim yang tengah diusut ini bukan barang baru bagi jaksa. Medio 2017, ketika tongkat pimpinan Kejati Kaltim dipegang Fadhil Zumhana. Kejati Kaltim sempat melirik adanya dugaan penggelembungan harga atau dugaan Pemkab Kutim membeli aset sendiri.