Imbas Kenaikan BPJS, UU MA Digugat ke MK

- Kamis, 4 Juni 2020 | 15:35 WIB

JAKARTA– Keputusan pemerintah menaikkan kembali iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan meski pernah dianulir Mahkamah Agung menimbulkan polemik di publik. Selain menggugat ulang Peraturan Presiden (Perpres) baru, publik yang kecewa juga menempuh upaya lain dengan menggugat Undang-undang Mahkamah Agung (UU MA).

Gugatan tersebut dilayangkan tiga warga negara. Yakni Deddy Rizaldy mahasiswa asal Universitas Kristen Indonesia Jakarta, Maulana Farras mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, serta Eliadi Hulu pekerja swasta asal Sumatera Utara. Ketiganya mempersoalkan ketentuan pasal 31 ayat 4 UU MA. Pasal tersebut dinilai belum memberikan kepastian hukum.

Dalam pasal tersebut, hanya disebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah oleh MA tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Dalam gugatannya, Deddy menilai, norma tersebut masih belum berkepastian. Sebab, ada peluang dibuatnya peraturan perundang-undangan yang baru.

Terbukti, dalam kasus BPJS, pembatalan Perpres 75 tahun 2019 oleh MA disiasati dengan penerbitan Perpres 64 tahun 2020 sebagai dasar hukum baru. Padahal, secara substansi mengatur hal serupa dengan perpres yang telah dinyatakan tidak sah. “Hal ini menyebabkan ambiguitas dan ketidakpastian serta merugikan para pemohon dan seluruh masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Fakta itu, lanjut dia, tidak sesuai dengan amanat pasal 28D ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Di mana setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil.

Agar lebih berkepastian, Deddy meminta mahkamah konstitusi memberikan tafsir yang terang terhadap pasal tersebut. Pemohon berharap, pasal tersebut harus dimaknai bahwa peraturan perundang-undangan yang sudah dinyatakan tidak sah tidak dapat dihidupkan juga substansinya. “Dan tidak boleh diundangkan kembali,” imbuhnya.

Praktik ini, lanjut dia, tidak hanya terjadi dalam kasus Perpres BPJS. Dalam kasus, lain, hal yang sama berpotensi terjadi. Selain tidak berkepastian, hal itu juga merugikan bagi proses peradilan. “Undang-undang a quo menyebabkan proses peradilan berbelit-belit dan bertele-tele yang bertetangan dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan,” pungkasnya. (far)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Garuda Layani 9 Embarkasi, Saudia Airlines 5

Senin, 22 April 2024 | 08:17 WIB
X