Samarinda Banjir Terus, Bukti Penanganan Kurang Serius

- Senin, 1 Juni 2020 | 00:53 WIB
Banjir menahun di Samarinda sulit diatasi bila tanpa dilakukan dengan niat yang kuat. Ditambah anggaran yang mumpuni. (MYAMIN)
Banjir menahun di Samarinda sulit diatasi bila tanpa dilakukan dengan niat yang kuat. Ditambah anggaran yang mumpuni. (MYAMIN)

Banjir menahun di Samarinda sulit diatasi bila tanpa dilakukan dengan niat yang kuat. Ditambah anggaran yang mumpuni.

 

SAMARINDA-Bencana banjir besar di Kota Tepian masih jadi ancaman nyata ke depan. Hal itu tampak dari belum seriusnya pemerintah baik Pemkot Samarinda maupun Pemprov Kaltim yang membuat kebijakan penanganan banjir secara menyeluruh.

“Selama ini hanya sepotong-potong,” ungkap pengamat lingkungan dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Bernaulus Saragih, (30/5). Dia menyebut, kondisi itu terjadi karena selama ini, baik pemerintah baik kota maupun provinsi, tidak melihat banjir sebagai persoalan besar yang perlu dituntaskan. Baru bergerak ketika musibah itu terjadi dan mendapat sorotan luas dari publik. “Ribut hanya ketika banjirnya terjadi. Begitu sudah surut, ya sudah. Enggak diurusi lagi,” ujarnya.

Padahal, kunci penanganan sudah tersaji di depan hidung pemerintah. Dari hulu, pembenahan lingkungan yang selama ini dirusak oleh aktivitas pengupasan lahan. Baik itu karena pertambangan maupun perumahan. Sementara di hilir, pengerukan Sungai Karang Mumus (SKM) hingga revitalisasi drainase atau gorong-gorong perlu dilakukan. Namun, eksekusinya yang masih lemah.

“Intinya pembenahan dari hulu ke hilir. Ini malah setiap ada pembangunan menimbulkan titik genangan baru,” jelasnya.

Seperti pembuatan gorong-gorong di simpang Sempaja. Hanya dilakukan secara parsial tidak sampai menembus SKM. Atau ketika dibangun perumahan di kawasan Jalan PM Noor (sebelumnya Jalan Inpres) di Sempaja. Yang seharusnya dibuat jembatan atau gorong-gorong untuk air menyeberang ke SKM justru tak dilakukan. “Akhirnya air merayap di atas jalan dan perumahan," sebutnya.

Namun, apapun itu, Saragih menyebut, banjir tetap akan menjadi musibah yang tidak bakal tertangani ketika pemerintah tidak serius. Jadi, yang dikhawatirkan, banjir hanya dipandang sebagai kejadian biasa dan alami. Hingga berujung pada pembiaran. “Coba pemerintah menangani banjir seperti menangani pandemi Covid-19, pasti tuntas itu,” sambungnya.

Sementara itu, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang menegaskan, banjir di Samarinda tidak akan tuntas ketika hulu SKM belum bebas dari pengupasan lahan akibat tambang batu bara. Sebab, dalam catatannya, ada 20 izin usaha pertambangan (IUP) yang saat ini beroperasi di wilayah hulu SKM. “Kalau dibilang tambang ilegal yang menyebabkan banjir ya salah. Justru tambang legal itu yang banyak dengan kupasan lahan yang masif,” ungkap Rupang.

Bahkan, dari penelitian Jatam, dalam radius 1 kilometer dari Waduk Benanga di Lempake sudah masuk konsesi perusahaan batu bara. Sementara dari deliniasi untuk radius 3 kilometer, Waduk Benanga sudah dikepung lima IUP. Bahkan diduga sejak awal Waduk Benanga telah “dikorbankan” untuk kepentingan memperoleh pendapatan daerah dari tambang.

“Dari luas Samarinda Utara (229,52 kilometer persegi), sekitar 70 persennya masuk konsesi IUP. Ini kan tak ada proteksi,” bebernya.

Rupang pesimistis jika Samarinda bakal bebas dari banjir besar. Bahkan akan terus bertambah parah. Sebab, hingga kini tak ada prioritas dalam penanganannya. Itu dapat dibuktikan dari tidak jelasnya rencana tata ruang wilayah (RTRW) Samarinda. “Coba tunjukkan saya mana ruang terbuka hijau (RTH) di Samarinda. Berapa persen? Berani tidak direvisi sampai 30 persen,” ungkapnya.

Diketahui, dari data yang diterima Kaltim Post, setelah banjir besar Januari lalu, RTRW Samarinda yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) 2/2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Samarinda 2014-2034 tak berjalan maksimal. Indikatornya ada dua.

Pertama, ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH). Kemudian, sistem pengendalian banjir berupa pembuatan kolam retensi dan detensi untuk menampung luapan air di Samarinda Utara. Menukil dokumen RTRW Samarinda 2014–2034 yang tahun lalu melewati periode pertama, RTH terdiri dari dua. Yaitu RTH publik dan privat.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X