NAH KAN..!! Ada Tambang Ilegal di Sekitar Bendungan Benanga

- Sabtu, 30 Mei 2020 | 12:53 WIB
Kualitas bendungan Benanga Samarinda Utara dari tahun ke tahun terus menurun.
Kualitas bendungan Benanga Samarinda Utara dari tahun ke tahun terus menurun.

SAMARINDA–Banjir di Samarinda tak lepas dari masifnya pembukaan lahan. Membuat daerah genangan dan resapan air terus menurun. Kondisi itu terjadi di area hulu Samarinda. Bendungan Benanga di utara Samarinda mengalami sedimentasi parah saat ini. Disebabkan aktivitas alih fungsi lahan yang tak terkendali. Kawasan hijau sebagai penyangga bendungan habis dikeruk karena pengupasan lahan.

Luasnya area terbuka menyebabkan menurunnya kemampuan bendungan dalam menyerap dan menahan air akibat curah hujan tinggi. Ironisnya, di sekitar waduk tersebut, terdapat pertambangan batu bara. Padahal, idealnya Bendungan Benanga harus memiliki buffer zone alias daerah penyangga yang mestinya masih hijau. Jadi, tak semua aliran air ke waduk ini. Juga, agar air yang mengalir ke waduk tak bercampur lumpur yang menyebabkan sedimentasi di waduk kian parah.

Kepada Kaltim Post, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim Wahyu Widhi Heranata mengatakan, sebenarnya pihaknya sudah melakukan pemeriksaan terkait pertambangan di sekitar Bendungan Benanga sejak tahun lalu. "Di sekitar sana ada pertambangan, tetapi pertambangan ilegal," kata mantan kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kaltim tersebut. Pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan aparat. Sebab, ESDM tidak berwenang dalam penindakan. Menurut Widhi, penindakan terkait tambang ilegal berawal dari laporan masyarakat ke polisi.

Nanti ESDM dihubungi untuk memastikan apakah tambang itu terdata legal atau tidak. Karena itu, dia juga mengimbau masyarakat agar mau melapor jika menemukan aktivitas tambang tak semestinya. "Sedangkan, izin usaha pertambangan (IUP) yang legal jauh dari waduk dan bisa kita pantau," ucapnya. Diakuinya, terkait tambang di dekat Bendungan Benanga masalahnya memang bukan hanya kali ini. Kasus ini sudah tahun lalu. Namun, banjir di Samarinda ini berulang-ulang. Meski begitu, ESDM disebut Widhi juga menerima pengaduan terkait tambang ilegal.

"Nanti kami akan segera lapor ke dirjen (Direktorat Jenderal Mineral Batu Bara, Kementerian ESDM). Sebab, dari rapat dengan dirjen Februari lalu, tambang ilegal nanti juga ditangani di dirjen. Jadi, nanti ada data di kita. Hingga saat ini, beberapa tambang ilegal sudah dilaporkan ke dirjen, tembusannya ke kapolda," jelas Widhi. Penyebab banjir di Samarinda memang tak sekadar tambang di sekitar Benanga.

Tetapi bukaan lahan yang masif di Samarinda dan sekitarnya juga jadi alasan. Pembukaan lahan ini tak hanya diperuntukkan sebagai perumahan. Tetapi, tak sedikit juga yang dibuka untuk pertambangan batu bara. Untuk memenuhi kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH), Samarinda memang tertatih. RTH di kota ini cukup jauh dari standar minimal 30 persen, seperti yang tertuang di Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Samarinda cuma punya RTH di kisaran 12 persen. Selain itu, permukiman penduduk yang memakan sempadan sungai jadi sebab, sehingga sungai tak memiliki ruang yang ideal untuk menampung air.

Untuk menanggulangi masalah ini, masterplan (rencana induk) penanganan banjir sudah dibuat lebih dari satu dekade lalu. Tetapi, tak kunjung ditunaikan. Alasannya, masalah sosial untuk membebaskan lahan.  Insinyur perancang masterplan penanganan banjir Samarinda Eko Wahyudi mengatakan, untuk menanggulangi banjir di Samarinda, setidaknya 100 hektare kolam retensi dibutuhkan. Tetapi, itu saja belum cukup.

Seratus hektare itu terdiri atas 10 kolam retensi dengan rata-rata 10 hektare per kolamnya.

Kolam inilah yang akan jadi penampungan air-air yang saat ini kerap menggenangi pemukiman masyarakat Kota Tepian. Tetapi, kolam retensi juga belum cukup. Bendungan pengendali dan normalisasi sungai harus dilakukan. Permukaan air yang tinggi di Bendungan Benanga, membuat limpasan air menuju Bengkuring dan Gunung Lingai. Sehingga, terjadi banjir seperti sekarang. Apalagi, disebut Eko, tinggi permukaan air ini tertinggi setelah banjir besar 1998 lalu. Banjir di kawasan ini pun susah surut. Sebab, air mengantre karena drainase Sungai Lingai yang bermuara di Sungai Karang Mumus (SKM), sangat kecil.

Drainase yang kecil juga jadi sebab Jalan DI Panjaitan kerap tergenang meski jalan sudah ditinggikan. "DI Panjaitan itu seharusnya lebar sungainya 6–8 meter. Sekarang tinggal 3,2 meter saja. Akhirnya airnya ya ke jalan itu. Jembatan yang ke gang-gang juga rendah, jadinya air terbendung dan luber ke jalan," jelasnya. Namun, tiga kali banjir besar dalam setahun, bukan berarti Pemkot Samarinda tak pernah buat apa-apa. Tiga polder di Samarinda sebenarnya sudah pernah dibuat. Polder Gang Indra, Polder Vorfo, dan Polder Air Hitam adalah polder yang niatnya dibangun untuk menanggulangi banjir.

Meskipun saat ini simpang empat Lembuswana masih kerap banjir. Tidak hanya membangun polder, belasan miliar rupiah juga dirogoh untuk membeli water master. Alat yang awalnya diyakini akan membantu mengentaskan masalah sedimentasi di Sungai Karang Mumus (SKM). Tetapi sayang, tak ada kisah baik dari alat yang lebih banyak menganggur sejak dibeli akhir 2014 silam. Meski begitu, pemkot telah berusaha melakukan normalisasi sungai. Terbaru, SKM sisi Jalan Ruhui Rahayu sudah diturap. Tinggal menunggu segmen lainnya dan aksi lain untuk pengentasan banjir yang datang makin sering.

Terpisah, Sekkot Samarinda Sugeng Chairuddin menuturkan, setiap tahun, visi-misi wali kota selama 10 tahun menjabat selalu fokus pada penanganan banjir. Menurut dia, bencana bah di Kota Tepian disebabkan beberapa faktor. Di antaranya, pasang surut air Sungai Mahakam, drainase kota yang buruk, dan banjir kiriman. “Kalau soal drainase setiap tahun kami selalu perbaiki. Sementara yang kemarin itu banjir akibat pasang surut ditambah curah hujan yang tinggi,” ucapnya ditemui di Rumah Jabatan Wali Kota Samarinda kemarin.

Lanjut dia, agar banjir akibat pasang surut bisa dikurangi, pemkot merekomendasikan penghentian pembangunan permukiman di bantaran SKM. Atau warga membangun rumah panggung. “Itu solusi permanen kami. Jika tidak banjir, tidak akan pernah selesai,” ucapnya. Selama ini, ucap Sugeng, bantaran sungai dilarang dibangun permukiman, bahkan tidak direkomendasikan di dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW). Dia menyebut, pembangunan yang sudah ada akibat kesalahan bersama, dari warga yang memintas izin, pemberi izin, bahkan warga yang membangun tanpa izin.

“Masalah ini sudah sangat kronis, titik banjir pun dari ke tahun hanya di lokasi yang sama. Kami kewalahan, teori apapun yang dijalankan nyatanya belum efektif. Ibaratnya seperti orang, belum berbenah sudah diterpa banjir berkali-kali,” kata mantan kepala Bappeda Samarinda itu. (nyc/dns/riz/k16)

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X