Konservasi Lahan Bendungan Benanga Prioritas Dilakukan

- Jumat, 29 Mei 2020 | 14:13 WIB
Waduk Benanga Samarinda yang diabadikan 22 Mei lalu setelah sebagian Samarinda diguyur hujan. Air keruh itu diduga dari lahan terbuka yang mengalir ke waduk. (BWS KALTIM)
Waduk Benanga Samarinda yang diabadikan 22 Mei lalu setelah sebagian Samarinda diguyur hujan. Air keruh itu diduga dari lahan terbuka yang mengalir ke waduk. (BWS KALTIM)

Segudang penanganan banjir di Samarinda sebenarnya sudah tersaji. Dari penurapan bibir SKM, merelokasi warga di bantaran sungai, hingga peningkatan kualitas drainase untuk menopang aliran air. Namun, Samarinda masih saja berkutat pada masalah sama.

 

BALIKPAPAN–Banjir di Samarinda bukan hanya karena faktor cuaca ekstrem. Kerusakan lingkungan akibat pengupasan lahan juga punya peran. Termasuk belum tuntasnya masalah relokasi permukiman di bantaran Sungai Karang Mumus (SKM). Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan III Anang Muchlis menyebut, dari laporan yang diterimanya pada 22 Mei, curah hujan (CH) di wilayah hulu SKM di Samarinda Utara sangat tinggi. “Bahkan dari laporan, kondisi ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Anang.

Menilik data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Temindung, BWS Kalimantan III unit Hidrologi dan Kualitas Air mencatat karakteristik rerata hujan sejak 1978–2018. Rerata CH mengalami peningkatan sejak Maret–April–Mei. Kemudian turun di Juni dan terendah di Agustus. “Anehnya tahun ini Maret dan April justru tidak turun hujan. Malah Mei hujan deras,” katanya. Pada 22 Mei itu, Pampang mengalami curah hujan hingga 185,5 milimeter (mm) dan di Tanah Merah mencapai 165,3 mm.

Ini disebutnya cukup tinggi. Selain hujan di dua wilayah itu, hujan di enam wilayah lain juga meningkatkan jumlah debit air yang mengisi daerah aliran sungai (DAS) SKM. Antara lain Sei Siring dengan CH 109,4 mm, Lempake dengan CH 95 mm, Sempaja dengan CH 56,3 mm, Rawa Makmur dengan CH 95,8 mm, Rapak Dalam dengan CH 25,8 mm, dan Karang Paci dengan CH 61 mm. “Kondisi ini yang menjadi faktor utama terjadinya banjir di Samarinda tahun ini dan di 2019 lalu. Curah hujan dengan volume yang sama juga membuat Kota Tepian banjir pada Januari lalu,” jelasnya.

Selain curah hujan yang tinggi, faktor lain yang berperan dalam banjir di Samarinda adalah dangkalnya Waduk Benanga di Lempake. Didesain untuk bisa menampung 1,5 juta meter kubik air, bendungan yang mulai dibangun pada 1978 itu kini hanya mampu menampung kurang dari 500 ribu meter kubik air. “Itu data kami di 2016, tentu kondisi sedimentasinya semakin parah saat ini,” sebut Anang.

Pihaknya menduga, tingginya sedimentasi ini karena banyaknya aktivitas alih fungsi lahan. Kawasan hijau sebagai penyangga habis dikeruk karena pengupasan lahan. Secara fisik, BWS Kalimantan III telah melihatnya melalui pantauan udara. “Kami sudah terbangkan drone di bendungan dan tampak di sisi kiri bendungan kondisi airnya sangat keruh akibat sedimentasi. Sementara di sisi kanan tetap jernih,” ungkapnya. Namun, Anang enggan berspekulasi soal aktivitas pengupasan lahan apakah itu dari tambang batu bara atau bukan. Yang bisa dipastikannya, wilayah di sisi kiri bendungan yang mengarah ke Bandara APT Pranoto itu banyak ditemukan aktivitas pembukaan lahan.

“Pengerukan bendungan pun tak bisa jadi solusi kalau kawasan hulunya tidak dikonservasi. Kalau ini tak dilakukan, banjir di Samarinda akan terus terulang dan makin besar,” ujarnya. Pengerukan pun berat dilakukan. Karena memerlukan anggaran yang besar. Sehingga BWS Kalimantan III saat ini hanya bisa melakukannya di sekitar intake PDAM dan irigasi agar air bisa tetap diambil. “Kondisinya, volume air yang turun ke bendungan sebesar 185 meter kubik per detik. Kemudian yang dialirkan ke bawah berkurang menjadi 85 meter kubik per detik,” ungkapnya.

Sayangnya, SKM tak mampu menampung volume air yang turun dari Waduk Benanga. Saat ini, SKM hanya mampu menampung air sebanyak 60 meter kubik per detik. Jadi, sisa air yang tak tertampung itu akhirnya meluber dan mengakibatkan banjir. “Sejumlah titik di SKM sudah mengalami penyempitan dan pendangkalan. Termasuk karena persoalan sosial di bantaran SKM,” katanya. Titik krusial SKM yang perlu dibenahi yakni di belakang Pasar Segiri. Karena banjir yang merendam Jalan Dokter Soetomo dan Simpang Mal Lembuswana berasal dari penyempitan di titik tersebut.

“Bersyukurnya wilayah bawah (hilir) SKM tak hujan. Kalau hujan 10 mm saja, wah banjirnya akan semakin parah,” sebutnya. Meski sudah mendapat mandat dari Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk penanganan SKM, namun BWS III Kalimantan hingga kini belum bisa melakukannya. Karena belum tuntasnya relokasi warga yang tinggal di bantaran sungai. “Ya persoalan sosial itu. Kalau itu selesai baru kami bisa bergerak,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim Encek Ahmad Rafidin Rizal menyebut, hingga kini pihaknya belum bisa menentukan langkah terkait persoalan banjir di Samarinda. Karena saat ini fokus pihaknya menyiapkan laporan untuk mendukung Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) cepat khususnya soal ketersediaan air dalam menyambut pemindahan ibu kota negara (IKN). “Namun dalam prosesnya, saya tahu pembukaan lahan untuk tambang di situ (kawasan hulu SKM). Salah satunya, PT LHI. Tapi apakah itu memengaruhi banjir di Samarinda. Saya no comment dulu,” ungkapnya.

Disebutnya, untuk mengawasi kondisi lingkungan di sekitar SKM atau Waduk Benanga, seharusnya dilakukan oleh DLH di tingkat kabupaten kota. Kecuali yang masuk dalam konsesi PT LHI, maka menjadi kewenangan DLH provinsi. “Tapi kami akan coba cek. Saya akan turunkan tim dari tata lingkungan untuk melihat kembali kondisi di sekitar situ (hulu SKM),” ujarnya.

Untuk diketahui, sejak 22 Mei, warga tiga kecamatan di Samarinda merayakan Idulfitri dengan terendam luapan air SKM. Semua penanganan untuk mengendalikan banjir bermula dari APBD. Lalu, sejauh mana peran para wakil sebagai mitra kerja Pemkot Samarinda dalam mengawal seluruh penanganan yang tersaji namun tak berimpak ini?

Siswadi, ketua DPRD Samarinda, menilai para legislator sudah berupaya maksimal dari sisi penganggaran hingga pengawasan. Penganggaran misalnya, penanganan banjir di postur APBD pasti berangkat dari hasil Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Samarinda. Mengawal usulan warga agar termaktub dalam musrenbang di tingkat paling rendah, tingkat kelurahan untuk terus merangkak ke musrenbang kecamatan, hingga disahkannya hasil akhir dalam musrenbang tingkat kota.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X