Tak semua warga di Britania Raya bisa memperoleh akses tes corona. Pun yang punya gejala, diminta isolasi mandiri selama 14 hari.
M RIDHUAN, Balikpapan
Sejak Britania Raya menerapkan lockdown pada 23 Maret lalu, banyak aktivitas masyarakat yang dibatasi. Untuk berbelanja pun, antrean diterapkan di luar toko. Membatasi jumlah manusia di dalam bangunan. Kondisi ini tentu menghabiskan banyak waktu. Apalagi pada jam tertentu antrean bisa mengular.
“Kami pun harus jaga jarak selama mengantre,” sebut Riki Herliansyah, dosen Program Studi Matematika, Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Balikpapan, yang kini berada di Edinburgh, Skotlandia.
Berjalan-jalan pun tak lagi menyenangkan. Jika dulu warga tak masalah berdekatan saat berpapasan, kini beberapa ada yang menghindar jika dalam satu trotoar. Hal ini tentu membawa efek bagi warga lokal yang dikenal ramah, maupun pendatang yang terbiasa dengan kenyamanan kota.
Berbagai cara dilakukan Riki untuk tetap semangat dan sehat menjalani aktivitasnya. Baik sebagai mahasiswa calon doktor filsafat (PhD) di Universitas Edinburgh, atau sebagai seorang muslim yang menjalani ibadah puasa selama Ramadan ini. “Di sini puasanya rata-rata kurang lebih 18-19 jam,” ungkapnya.
Bahkan dia sempat merasakan 20 jam berpuasa ketika waktu berbuka jatuh pada pukul 21.00 dan sahur di pukul 01.00. Namun, karena tinggal bersama teman dan keluarganya, suasananya menyenangkan karena ramai ketika berbuka dan sahur.
“Saat ini buka puasanya pukul 21.30 dan salat Isya pukul 23.11. Sedangkan salat Subuh mulai pada pukul 03.01,” ujarnya.
Kondisi ini membuatnya tidak tidur setelah salat Tarawih. Tanggung. Jadi, dia mengubah pola tidur setelah salat subuh sampai siang sebelum salat zuhur. Di sela waktu salat, dihabiskannya dengan melakukan riset dan tadarus.
“Pernah juga waktu di Australia saya sempat berpuasa. Namun, waktunya jauh lebih singkat dibandingkan di Indonesia,” kata pria yang menyelesaikan studi S2-nya di Universitas New South Wales, Sydney, Australia, itu.
Lantaran semua masjid ditutup akibat lockdown, salat Tarawih dilakukan di rumah. Berjamaah bersama teman dan keluarganya. Pengajian diubah secara online. Kini banyak diselenggarakan oleh Keluarga Islam Britania Raya (KIBAR) bekerja sama dengan KBRI dan beberapa komunitas muslim lainnya.
“Sempat juga mengadakan bukber (buka bersama) online yang diselingi dengan lomba ‘Mug Coooking’ dan saya menang ternyata. Lumayan dapat voucher belanja, ha-ha-ha,” tawa pemuda asal Kutim itu.
Untuk menu berbuka, Riki tak khawatir selera Indonesianya hilang. Karena tinggal bersama teman yang pandai memasak, jadi menunya bervariasi. Kadang masak mi ayam, asinan bogor, siomay, bakwan, bakso, soto betawi, atau sekadar lalapan tahu tempe sambel mentah.
“Pengalaman puasa di sini, kalo dibilang capek rasanya tidak juga. Selama kita sahur dengan baik. Apalagi lockdown, lebih banyak di kamar,” katanya.