Melaksanakan Ramadan di tengah pandemi Covid-19 di Jerman beberapa hari terakhir lebih leluasa. Otoritas setempat telah melonggarkan kebijakan lockdown.
M RIDHUAN, Balikpapan
SEPERTI sebagian negara di Eropa, Jerman sejak pekan kedua Mei mulai melonggarkan aturan terkait lockdown. Situasi itu pun menjadi buah simalakama, angka penularan corona kembali meningkat. Hingga data terakhir 178 ribu orang terinfeksi dan 8 ribu jiwa lebih meninggal karena virus asal Wuhan, Tiongkok, itu.
“Alhamdulillah, saya sendiri masih bebas corona dan segar selama puasa,” ungkap Nico Febrian, karyawan perusahaan minyak dan gas yang sebelumnya tinggal di Balikpapan, Rabu (20/5).
Nico menyebut, kondisi Jerman dinamis dalam menghadapi Covid-19, terutama dalam beberapa hari terakhir. Demo sempat dilakukan warga yang protes terhadap kebijakan lockdown. Meski begitu, sebagai seorang muslim, menjalani Ramadan di Benua Biru tahun ini memang serbaterbatas. Di Celle, Niedersachsen, kota yang saat ini dia tinggali pun masih waspada terhadap penyebaran virus. “Jadi ke mana-mana masih pakai masker,” kata pemuda kelahiran Riau 1990 itu.
Menjalani puasa di Jerman tahun ini sendiri cukup diringankan dengan kondisi cuaca. Berbeda pada puasa tahun lalu yang tepat saat musim panas, tahun ini Ramadan berlangsung pada musim semi. Temperatur udara di angka 12 derajat celcius. “Jadi enggak panas. Enggak gampang haus,” sambungnya.
Namun, musim semi memiliki waktu siang yang lebih lama dibandingkan malam. Untuk jadwal imsak pada pukul 03.00 dan baru buka puasa di pukul 21.10 waktu setempat. Itu disebutnya lebih ringan. Karena saat melaksanakan puasa pada 2016 lalu, imsak terjadi di pukul 02.30 dan baru buka puasa di pukul 21.40.
“Jadi kalau saya buka puasa biasanya sekalian sahur. Karena jam buka puasa -tidur - sahur pendek banget, ha-ha-ha,” tawa alumnus S1 Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Namun Ramadan di luar negeri bukan hal yang baru baginya. Sejak 2016, puasa dijalankannya di Swiss. Setelahnya sejak 2017 hingga sekarang di Jerman. Tapi yang menjadi kesamaan adalah tak adanya budaya Ramadan. Tak ada takjil. Hanya ada kue dan jus buah buatan sendiri. “Ah, saya kangen cari takjil buat buka puasa,” kata Nico mengungkapkan rasa kangennya.
Karena waktu makan pendek dan dia perlu tidur juga, masak sendiri memang menjadi pilihan utama. Itu untuk menjaga asupan gizi. Menu kaya serat dan air dipilih. Sayur atau salad, dan sup daging untuk protein wajib dikonsumsi. Nasi hanya seminggu sekali pada akhir pekan. Karbohidrat diperoleh dari mi atau pasta. “Kadang kentang atau roti. Kurma biar terasa Ramadan,” ujarnya.
Meski begitu, Nico tetap ingin es teler buatan ibunya yang kini tinggal di Duri, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau. Darah Padang membuatnya juga ingin makan makanan yang pedas, terutama ayam panggang atau rendang. “Saya juga kangen soto banjar di Balikpapan dan kepiting saus lada hitam,” ungkapnya.
Pergi ke restoran yang juga mulai dibuka pun bukan pilihan baginya. Karena masih status lockdown, restoran membatasi jumlah tamu. Pemerintah membatasi jam buka tutup. “Sebelumnya boleh buka sampai jam 6 sore. Sekarang dilonggarkan sampai jam 11 malam. Jarak duduknya juga diatur jaraknya,” sebutnya.