Menyoal Narasi “Perang” dan “Lawan” Covid-19

- Selasa, 19 Mei 2020 | 11:16 WIB

Syamsul Rijal

Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP dan

Sekretaris Pusat MPK-LP3M Universitas Mulawarman

 

 

 

Pada 5 Maret 2020, Presiden Joko Widodo menuliskan kalimat di akun Twitter-nya bahwa, “Musuh terbesar kita saat ini bukanlah virus corona itu sendiri, tetapi rasa cemas, panik, dan ketakutan itu sendiri”. Momen inilah pertama kalinya pemerintah memunculkan narasi peperangan dalam melihat Covid-19.

Berawal dari kata “musuh” yang menjadi cikal bakal lahirnya diksi-diksi perang yang lain selama penyebaran Covid-19. Meskipun kalimat tersebut adalah kalimat pengingkaran atas ketakutan pada virus corona, tetapi secara psikolinguistik, publik dapat menebak bahwa sejak awal, bahwa pemerintah sudah kelihatan panik dan tidak siap menghadapi pandemi ini.

Memperlakukan virus sebagai musuh adalah sesuatu yang tidak tepat. Selain itu, menyerukan kata “musuh” kepada publik semakin memperlihatkan ketidaksiapan pemerintah menghadapi penyebaran Covid-19. Mengapa? Sebab, seruan itu terlihat mengajak masyarakat untuk terlibat langsung membantu pemerintah menghadapi penyebaran virus.

Pernyataan lain yang memperlihatkan ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi pandemi ini dapat dilihat pada 16 Maret 2020. Presiden Joko Widodo menuliskan di akun Twitter-nya bahwa, “Kebijakan lockdown baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah, misalnya, adalah kebijakan pemerintah pusat. Dan kita belum berpikiran ke arah itu”.

Frasa “belum berpikiran” menunjukkan salah satu bentuk ketidaksiapan dalam tweet tersebut. Dalam konteks lain, frasa “belum berpikiran” juga dapat dimaknai sebagai kesan adanya pembiaran dan ketidakseriusan pemerintah.

Puncaknya, narasi perang ini muncul pada 26 Maret 2020. Presiden menyatakan, “Dalam KTT ini, saya mengajak para pemimpin negara G20 untuk bersama-sama memenangkan dua “peperangan” yaitu melawan Covid-19 dan melawan pelemahan ekonomi dunia”.

Dari sudut pandang ilmu komunikasi, kata-kata ini tidak tepat dinarasikan presiden di hadapan publik, karena kata tersebut bersayap secara makna. Dengan kata lain, kata itu bisa bermakna denotasi dan bisa bermakna konotasi.

Dari pandangan kajian psikolinguistik atau psikologi bahasa, diksi-diksi tersebut pasti berefek pada orang yang mengucapkan dan orang yang mendengarnya. Diksi musuh, petarung, perang, dan lawan merupakan diksi yang berpusat pada satu medan makna, yakni tentang konflik. Dalam konteks pandemi Covid-19 ini, kata mencegah, menghindari, dan melindungi sudah cukup mampu menggantikan kata perang, lawan, dan tarung.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X