Syamsul Rijal
Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP dan
Sekretaris Pusat MPK-LP3M Universitas Mulawarman
Pada 5 Maret 2020, Presiden Joko Widodo menuliskan kalimat di akun Twitter-nya bahwa, “Musuh terbesar kita saat ini bukanlah virus corona itu sendiri, tetapi rasa cemas, panik, dan ketakutan itu sendiri”. Momen inilah pertama kalinya pemerintah memunculkan narasi peperangan dalam melihat Covid-19.
Berawal dari kata “musuh” yang menjadi cikal bakal lahirnya diksi-diksi perang yang lain selama penyebaran Covid-19. Meskipun kalimat tersebut adalah kalimat pengingkaran atas ketakutan pada virus corona, tetapi secara psikolinguistik, publik dapat menebak bahwa sejak awal, bahwa pemerintah sudah kelihatan panik dan tidak siap menghadapi pandemi ini.
Memperlakukan virus sebagai musuh adalah sesuatu yang tidak tepat. Selain itu, menyerukan kata “musuh” kepada publik semakin memperlihatkan ketidaksiapan pemerintah menghadapi penyebaran Covid-19. Mengapa? Sebab, seruan itu terlihat mengajak masyarakat untuk terlibat langsung membantu pemerintah menghadapi penyebaran virus.
Pernyataan lain yang memperlihatkan ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi pandemi ini dapat dilihat pada 16 Maret 2020. Presiden Joko Widodo menuliskan di akun Twitter-nya bahwa, “Kebijakan lockdown baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah, misalnya, adalah kebijakan pemerintah pusat. Dan kita belum berpikiran ke arah itu”.
Frasa “belum berpikiran” menunjukkan salah satu bentuk ketidaksiapan dalam tweet tersebut. Dalam konteks lain, frasa “belum berpikiran” juga dapat dimaknai sebagai kesan adanya pembiaran dan ketidakseriusan pemerintah.
Puncaknya, narasi perang ini muncul pada 26 Maret 2020. Presiden menyatakan, “Dalam KTT ini, saya mengajak para pemimpin negara G20 untuk bersama-sama memenangkan dua “peperangan” yaitu melawan Covid-19 dan melawan pelemahan ekonomi dunia”.
Dari sudut pandang ilmu komunikasi, kata-kata ini tidak tepat dinarasikan presiden di hadapan publik, karena kata tersebut bersayap secara makna. Dengan kata lain, kata itu bisa bermakna denotasi dan bisa bermakna konotasi.
Dari pandangan kajian psikolinguistik atau psikologi bahasa, diksi-diksi tersebut pasti berefek pada orang yang mengucapkan dan orang yang mendengarnya. Diksi musuh, petarung, perang, dan lawan merupakan diksi yang berpusat pada satu medan makna, yakni tentang konflik. Dalam konteks pandemi Covid-19 ini, kata mencegah, menghindari, dan melindungi sudah cukup mampu menggantikan kata perang, lawan, dan tarung.