Di Balikpapan, kue talam kadang sulit ditemukan saat sore hari. Bukan langka, tapi kebanyakan sudah habis dibeli, jauh sebelum jam berbuka puasa.
M RIDHUAN, Balikpapan
TIGA jam sebelum jadwal buka puasa. Puluhan loyang kosong yang sebelumnya terisi kue talam sudah menumpuk di kolong meja berjualan milik Rhumi. Pembeli masih datang silih berganti. Tak jarang ramai. Membuat antrean di pinggir kios di Jalan Letjen S Parman, Kelurahan Gunung Sari Ulu, Balikpapan Tengah.
Di atas meja 2x1 meter, hamparan kue talam berbagai warna dan rasa tersaji. Totalnya ada 16 jenis. Dari sari muka lakatan, habang hijao, habang putih, sari pengantin, lapis india gulmer, lapis india padang, kararaban, nangka besusun, puding casablanca, putri selat hingga jenis yang hampir semua orang kenal, amparan tatak pisang. “Amparan tatak dan sari muka lakatan ini yang laku keras,” ujar Rhumi, Selasa (12/5) lalu.
Rhumi menyebut, kue talam yang dijualnya adalah buatan kakaknya, Nia. Sang kakak belajar membuat aneka kue talam dari seorang kerabat. Meski bukan keturunan warga Banjar, keahlian Nia memasak kue talam sudah dikenal banyak orang Balikpapan. “Tapi kakak saya tak pandai berjualan. Makanya kami yang membantu,” sebut Rhumi.
Awak media sempat ingin berjumpa dengan Nia. Namun, waktunya kurang tepat. Kata Rhumi, kakaknya sedang beristirahat begitu selesai membuat kue talam. Tidur siang hari, memasak pada tengah malam. Proses pembuatan kue talam dimulai pukul 01.00 Wita hingga selesai pukul 11.00 Wita. Selanjutnya giliran dirinya yang berjualan. “Mohon maaf kakak enggak mau diwawancara,” ujar Rhumi menyampaikan pesan kakaknya setelah dihubungi melalui WhatsApp.
Dari cerita Rhumi, usaha menjual kue talam dimulai pada 2012 lalu. Penjualan dilakukan di pasar Ramadan. Melihat peluang, kue talam pun dijajakan di luar bulan puasa. Namun jumlahnya tak banyak dengan jenis kue yang terbatas. “Kalau di luar Ramadan, paling hanya delapan rasa yang dibuat,” ungkapnya.
Rhumi sempat merasakan kekhawatiran berjualan di tengah pandemi. Selain khawatir penyebaran, juga karena pemerintah melarang adanya pasar Ramadan. Ditambah banyaknya masyarakat yang terbatas dalam beraktivitas dan berusaha. Namun, keadaan berubah sebaliknya. “Justru Ramadan tahun ini penjualannya meningkat,” katanya.
Dia menduga. Justru ketiadaan pasar Ramadan yang membuat banyak orang akhirnya datang langsung ke kiosnya. Selain itu, adanya penerapan buka tutup sejumlah ruas jalan utama di Balikpapan membuat pencari hidangan pembuka memilih jalan-jalan alternatif seperti Jalan Letjen S Parman. “Alhamdulillah,” ungkapnya.
Rhumi enggan membicarakan soal omzet. Namun, dia menyebut tahun ini bisa menjual hingga 80 loyang. Meningkat 20 persen dibandingkan Ramadan 2019 lalu. Apalagi tahun ini ada lapak baru yang dibuka di kawasan Ringroad, Balikpapan Selatan. Dekat tempat produksi kue talam. “Selebihnya masih ada lagi penjual yang beli sama kita,” sebutnya.
Untuk satu loyang kue talam dijual Rp 180 ribu. Sementara untuk satu potongnya dihargai Rp 12 ribu. Harga ini hanya meningkat Rp 3 ribu per potong jika dibandingkan awal mereka berjualan, delapan tahun lalu. Soal bahan, Rhumi menyebut, hampir semuanya diperoleh secara lokal. “Paling daun suji saja yang ambil dari seberang (Penajam Paser Utara). Kalau pisang, Ramadan ini agak sulit cari dalam jumlah banyak,” jelasnya.