Tak mudah bagi seorang bidan mampu meyakinkan para ibu yang berjuang dengan proses kelahiran. Dari bantuan bidan, nasib nyawa seorang ibu dan anak dipertaruhkan.
HARI Bidan Internasional, selalu diperingati setiap hari ini. Untuk level nasional, perayaan Hari Bidan diperingati setiap 24 Juni. Tak mudah untuk menjadi seorang bidan. Bukan sekadar membantu proses persalinan, namun harus ada sertifikasi khusus bagi bidan.
Sulis Fitriyana sudah cukup lama menjadi bidan. Namun, bagi perempuan kelahiran Samarinda, 7 April 1993 silam, enam tahun menjadi bidan dianggapnya baru seumur jagung. Perempuan beralamatkan Bukuan, Kecamatan Palaran, itu mengisahkan dirinya mantap menekuni profesi bidan. “Kecilan saya itu punya keinginan jadi polisi wanita (polwan) sebenarnya,” ujar perempuan berwajah oval dengan kulit sawo matang itu. Namun, menginjak bangku sekolah menengah pertama (SMP), Sulis kecil saat itu mulai mencari referensi tentang dunia kebidanan. Sejak SMP, perempuan yang memiliki hobi menyanyi itu memantapkan hatinya untuk bisa berguna bagi orang banyak, khususnya perempuan, yakni menjadi bidan.
Bagi Sulis, bidan itu merupakan tugas yang mulia. “Sebenarnya semua profesi itu mulia, tapi saya lebih bangga jadi bidan. Mungkin kalau ditanya dengan yang profesi lain jawabannya pasti bangga dengan yang diperoleh saat ini,” tuturnya. Sulis menyebut, banyak orang meremehkan dan mengeluh, jadi bidan itu tak enak. Bagi dia, bidan adalah tantangan yang indah. “Rasa bangganya itu saat membantu proses lahirkan. Ibu selamat dan bayi sehat, itu luar biasa bangganya,” ungkap Sulis.
Sebagai bidan, handphone (HP) tak boleh mati. “Kami harus sigap 24 jam. Waktu dan tempat bukan halangan bagi kami (bidan) mengabdi. Bayangkan, ada dua nyawa dipertaruhkan, itu alasannya saya bangga jadi bidan,” ujarnya. Meski beberapa kali ia harus menahan amarah saat berhadapan dengan ibu yang mengandung namun memiliki tingkat emosi yang tinggi. “Wajib senyum. Biasanya si ibu kalau sudah melahirkan akan kembali bisa mengontrol emosinya. Bidan itu harus sabar,” ucapnya. Namun, enam tahun mengabdi sebagai seorang bidan, sudah tak terhitung berapa banyak membantu proses kelahiran. Tak sebanding dengan gaji yang diperoleh.
“Baru setahun saya merasakan kenaikan gaji, sekarang jadi Rp 1,5 juta per bulan,” ucapnya. Ia memang tak bisa mengandalkan banyak dari gaji, namun ilmu yang diperoleh selama menempuh pendidikan tinggi, bisa diaplikasikan ke kehidupan nyata.
Ditemui terpisah, Majelis Pertimbangan Organisasi Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Kaltim Encik Widyani Sjaraddin menuturkan, ada kelemahan di segi tenaga kesehatan khususnya bidan. “Rata-rata kurang berani mengambil kesempatan, padahal ada momen kerja sama dengan beberapa lembaga di luar negeri, para bidan selain dapat ilmu juga dapat kerja,” ungkapnya. “Alasannya banyak yang takut lepas dari orangtua mereka, padahal momen itu sangat berharga. Kesempatan itu tidak datang dua kali,” ungkapnya.
Encik tak memungkiri jika gaji yang diperoleh bidan masih jauh dari layak. “Saya sudah dengar itu, tapi sejatinya gaji itu nomor sekian. Kebanggaan para bidan itu ketika berhasil membantu persalinan. Ibu selamat, bayi sehat, dan keluarga sejahtera,” tuturnya. Ia meminta bidan-bidan yang ada saat ini berani dan semangat untuk mengambil kesempatan yang ada. (dra2/k8)