Refleksi World Malaria Day

- Kamis, 30 April 2020 | 09:54 WIB

Oleh: dr Carta Agrawanto Gunawan

Dokter Spesialis Penyakit Dalam di Samarinda

 

Malaria masih merupakan masalah kesehatan di negara tropis dan subtropis di dunia, termasuk di Indonesia. Merupakan penyakit infeksi yang disebabkan parasit (Plasmodium) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles.

 

TERDAPAT lima spesies Plasmodium yang dapat menyebabkan malaria pada manusia, yaitu P falciparum, P vivax, P ovale, P malariae,dan P knowlesi. Kurang lebih 2-10 persen kasus malaria bermanifestasi sebagai malaria berat yang ditandai adanya berbagai komplikasi pada organ penting seperti malaria serebral (penurunan kesadaran sampai koma), gangguan ginjal akut, peningkatan kadar bilirubin (mata dan air kemih tampak kuning), kejang, shocked, gagal napas.

Kematian karena malaria berat mencapai 10-40 persen. Penyebab malaria berat adalah P falciparum, P vivax,dan P knowlesi. P knowlesi merupakan spesies kelima yang diketahui dapat menginfeksi manusia, dahulunya hanya menginfeksi primata monyet berekor panjang Macaca fascicularis yang banyak ditemukan di Asia Tenggara. Kasus infeksi P knowlesi pada manusia pertama kali dilaporkan dari Sarawak 2004 silam, dan saat ini sudah ditemukan di beberapa provinsi di Kalimantan dan Sumatra.

                Malaria sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu dan memberi dampak sosial ekonomi yang sangat besar dalam peradaban manusia. Asal kata malaria adalah mal aria (bad air), suatu penyakit demam yang diduga berasal dari udara kotor dari rawa-rawa. Hippocrates pada 500 SM menggambarkan, malaria sebagai penyakit demam yang berulang setiap 2, 3, atau 4 hari. Charles Laveran, ilmuwan Prancis pada 1878 menemukan bahwa malaria disebabkan infeksi parasit, yaitu Plasmodium, dan mendapat hadiah Nobel Kedokteran pada 1907. Ronald Ross (Inggris) pada 1897 menemukan malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles,dan mendapat hadiah Nobel Kedokteran 1902. Saat ini, sekitar 40 persen populasi dunia yang meliputi 106 negara hidup di daerah yang berisiko terkena malaria. Kasus terbanyak didapatkan di Afrika (80 persen), Amerika Tengah, Amerika Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Selatan. Pada 2000 dilaporkan terdapat 250–300 juta kasus malaria di seluruh dunia dengan kematian 1-2 juta orang. Dari tahun 2000 sampai 2015 terjadi penurunan kematian karena malaria sekitar 48 persen.

Data dari WHO menunjukkan, terdapat 219 juta kasus malaria pada 2017 dengan kematian sekitar 435 ribu, kurang lebih sama dengan situasi 2015 dan 2016. Data WHO 2018 menunjukkan kondisi yang sama, sebanyak 228 juta kasus. Seperti situasi global, kasus malaria di Indonesia mengalami penurunan. Data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2017 menunjukkan 266 (52 persen) kabupaten/kota di Indonesia adalah wilayah bebas malaria, 172 (33 persen) kabupaten/kota endemis rendah, 37 (7 persen) kabupaten/kota endemis sedang dan 39 (8 persen) kabupaten/kota endemis tinggi, yaitu di Papua, Papua Barat, dan NTT. Tercatat 261.617 kasus malaria di Indonesia. Saat ini, di Kaltim kasus malaria banyak didapatkan di Penajam Paser Utara (PPU), Paser, dan Kutai Barat. Di Samarinda pada 10–15 tahun yang lalu, kasus malaria berat yang dirawat di rumah sakit rujukan mencapai 70-90 kasus per tahun, dengan kematian sekitar 17 persen. Dalam lima tahun terakhir kasus malaria berat yang dirawat di rumah sakit yang sama, kurang dari 10 kasus per tahun.

Untuk diketahui, setiap 25 April, ditetapkan WHO sebagai World Malaria Day. Tahun ini mengusung tema End Malaria for Good. Indonesia turut aktif memperingati Hari Malaria Sedunia dan menekankan betapa pentingnya peran pemerintah, dan masyarakat dalam pencegahan dan pengobatan malaria. Salah satu faktor penting menurunnya kasus malaria dan kasus kematian karena malaria adalah digunakannya obat antimalaria derivat artemisinin. Sejak 2004, WHO merekomendasikan penggunaan derivat artemisinin untuk pengobatan malaria berat maupun malaria tanpa komplikasi. Untuk malaria berat digunakan artesunat injeksi, sedangkan untuk malaria tanpa komplikasi digunakan tablet artemisinin combination therapy (ACT), salah satunya adalah kombinasi dihidroartemisinin-piperakuin yang dipakai di Indonesia saat ini. Artemisinin adalah ekstrak tanaman Artemisia annua (Qinghaosu) yang digunakan di Tiongkok lebih dari seribu tahun sebagai obat demam, dan pada 1972 diketahui memiliki khasiat sebagai obat antimalaria. Obat antimalaria lama yang masih efektif saat ini adalah kina, yang sudah dipakai hampir 400 tahun. Tantangan pengobatan malaria dewasa adalah mulai dilaporkannya parasit malaria yang kebal terhadap derivat artemisinin di beberapa negara di Asia Tenggara.

Kondisi itu dipicu berbagai faktor, seperti pemberian obat antimalaria yang berlebihan pada kasus yang bukan malaria, obat antimalaria dengan kualitas buruk, pengobatan yang tidak sesuai dosis. Keadaan itu tentunya sangat memprihatinkan dan berdampak buruk upaya eliminasi malaria, karena belum ditemukannya obat antimalaria baru yang ampuh.

Tantangan lain dewasa ini adalah banyak petugas medis yang selama pendidikan tidak pernah menjumpai dan menangani malaria. Kondisi itu akan mengurangi kewaspadaan bila mendapatkan pasien demam, tidak memikirkan kemungkinan malaria, sehingga dapat terjadi keterlambatan dalam diagnosis atau tidak terdiagnosis sampai pasien meninggal karena malaria berat. Malaria berat adalah suatu kegawatdaruratan medis yang memerlukan diagnosis cepat dan penanganan yang cepat dan tepat, keterlambatan akan menyebabkan angka kematian tinggi. Penulis bersama Dinas Kesehatan (Diskes) Kaltim selama 15 tahun terakhir mengunjungi hampir semua kabupaten di Kaltim dan Kaltara untuk memberikan penyegaran pengetahuan dalam penanganan malaria kepada para petugas medis. Selain itu, Kementerian Kesehatan RI telah mendistribusikan obat antimalaria injeksi maupun tablet ke Dinas Kesehatan dan puskesmas di daerah yang memiliki kasus malaria.

Aspek lain dari malaria dalam travel medicine adalahrisiko wisatawan terkena malaria saat berkunjung ke negara atau daerah endemis malaria. Beberapa kawasan wisata terkenal di Indonesia terletak di daerah endemis malaria. Upaya pencegahan terbaik adalah menghindari gigitan nyamuk Anopheles yang biasanya menggigit manusia saat malam. Upaya itu di antaranya penggunaan kasa nyamuk pada lubang ventilasi, jendela, pintu; penggunaan AC di kamar tidur, penggunaan kelambu yang dilapisi insektisida dan repellent (lotion anti-nyamuk) yang mengandung diethyltoluamide 30-50 persen, menggunakan baju lengan panjang, celana panjang, dan kaus kaki bila keluar rumah malam hari. Obat profilaksis yang dipakai di Indonesia saat ini adalah doksisiklin bagi orang yang masuk ke daerah endemis untuk waktu singkat (beberapa minggu). Efektifitas profilaksis 75-90 persen bila obat diminum sesuai aturan. Obat profikasis lain yang biasa dipakai wisatawan asing adalah meflokuin atau atovakuon-proguanil, namun kedua obat itu tidak tersedia di Indonesia. (dra/k8)

 

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X