Pandemi Covid-19 membuat Titiek Puspa tak bisa keluar rumah. Usianya yang kini di angka 82 tahun termasuk kategori rentan. Kondisinya juga tak seoptimal dulu. Sudah setahun menggunakan alat bantu pacu jantung.
SHAFA NADIA, Jakarta, Jawa Pos
HAMPIR dua bulan ini Titiek berdiam di dalam apartemennya yang berlokasi di Jakarta Selatan. Berjemur setiap pagi di balkon kamar menjadi salah satu kegiatan rutin yang diyakininya bisa untuk menjaga kesehatan dengan cara alami dan gratis. ”Apalagi, cuaca Jakarta belakangan terasa lebih sehat. Polusi jauh berkurang,” katanya melalui sambungan telepon pada Rabu (22/4) sore lalu.
Meski sudah jarang muncul di hadapan publik, tak banyak yang berubah dari cara bicaranya. Sedikit melambat memang. Tapi tetap jelas, tegas, diperkuat intonasi yang khas. ”Alhamdulillah sehat,” ujarnya di awal pembicaraan menerangkan kondisinya saat ini.
Ibu dua anak itu membagi resepnya setelah berjemur matahari. Berilah jeda dua jam sebelum mandi. Menurut Titiek, di sela-sela waktu tersebut, sinar matahari yang masuk ke dalam tubuh sedang bekerja memperbaiki imunitas tubuh. ”Itu harus dicatat, karena aku dibilangin itu sama orang dulu, pandai dia. Biar kita berjemurnya nggak sia-sia,” jelasnya.
Tak banyak kesibukan yang dia jalani saat ini. Perempuan dengan nama lahir Sudarwati tersebut menghabiskan hari-harinya dengan kegiatan mewarnai. Aktivitas itu ampuh membunuh stres yang ada di dalam pikirannya. Membuatnya rileks serta memperkuat fokus dan daya ingatnya. ”Buku yang diwarnai itu memang didesain khusus untuk para orang tua, bukan yang untuk anak-anak itu ya,” terangnya.
*****Baru sepuluh hari ini Titiek mulai mewarnai. Tapi, dia sudah menemukan keasyikannya. Dia tak menghitung berapa gambar yang diwarnai setiap harinya. Karena itu, Titiek menyarankan teman-teman seusianya mencoba aktif mewarnai agar tidak gampang stres.
Saking senangnya, sampai menjelang tidur, Titiek kadang masih merasa ingin mewarnai. Kalau sudah begitu, tak bisa dicegah. Dia akan bangun dari tempat tidurnya dan mulai mewarnai lagi. ”Ya Allah, aku baru tahu itu asyiknya. Ini aja aku baru selesai mewarnai, biar nggak ngantuk,” jelasnya.
Obrolan sore itu terasa ringan. Titiek berkali-kali tertawa dengan hangat. Dia bercerita, sekitar dua bulan lalu, sebelum korona merebak di Indonesia, dirinya mendapat musibah. Saat jalan-jalan ke sebuah toko, dia jatuh dari tiga anak tangga. ”Lantainya licin gitu,” ujarnya.
Titiek dibawa ke rumah sakit. Untung, setelah dirontgen, diketahui tidak ada luka serius. Namun, tetap saja kejadian itu mengakibatkan saraf-saraf di dalam tubuhnya ”kaget” dan menciut sehingga dia harus minum painkiller. Beberapa saat setelah kejadian, Titiek merasa sakit ketika saraf-saraf tersebut kembali ke posisi semula. ”Pas sarafnya membetulkan diri lagi, haduh sakitnya bukan main,” ucapnya.
Sampai saat ini terkadang masih terasa sakit pada bagian kanan tubuh. Kendati begitu, Titiek tidak punya nyali untuk cek lagi ke rumah sakit dalam situasi pandemi seperti sekarang. ”Sama saja masuk sarang penyamun. Paling sekarang minum-minum ramuan Jawa aja dari bahan tradisional yang dibuat sendiri,” ungkapnya.
Di sisi lain, Titiek memang merasa kurang nyaman dengan rumah sakit. Tahun lalu dia sebetulnya diminta menjalani operasi ketika diketahui memiliki ritme detak jantung tidak stabil yang membuat kesulitan bernapas. Namun, dia menolak. Menurut dia, kekuatan orang seusianya untuk sembuh pascaoperasi terbilang lama.