Bidang pertanian membuat Ginanjar Ibnu Tamimi jatuh cinta. Berbekal karunia akal dan indera, dia terus mencari pengetahuan dalam mendalami hal yang dia cintai itu. Dia yakin, jika ditekuni dengan baik, juga bisa mengantarkan pada kesuksesan.
TEPAT pada 2015, Ginanjar memberanikan diri terjun total untuk bercocok tanam. “Tahun itu saya pengin banget menanam, tapi sayangnya saya enggak punya lahan. Sudah kepikiran mau mau beli tanah, tapi rasanya repot karena harus survei lahan dulu. Jadi, saya putar otak, bagaimana caranya tetap bertani walau lahannya sempit. Akhirnya saya searching di internet, dan ketemu budi daya hidroponik,” tutur pria kelahiran 1989 itu.
Dia pun sempat ngobrol dengan sang ibu. Namun, ibunya sempat meragukan dan tak yakin dengan keputusan Ginanjar. Namun, tekad sudah telanjur bulat, Ginanjar tetap melanjutkan keinginannya tersebut.
PETANI MILENIAL: Pudarnya keinginan anak muda dalam bercocok tanam karena kerap dipandang sebelah mata, membuat Ginanjar semakin semangat menggaungkan petani milenial.
Mengingat tak punya pengalaman mumpuni, akhirnya Ginanjar memutuskan ke Jogjakarta mengikuti pelatihan hidroponik dengan salah satu pakarnya. Dia pulang dan langsung mempraktikkan ilmu yang telah dia kantongi.
“Awalnya ya enggak nyangka juga ada sayuran yang bisa tumbuh tanpa tanah. Tapi, senang banget karena percobaan saya berhasil. Coba ngobrol sama tukang sayur yang sering lewat depan rumah, sempat diketawain. Tapi ya cuek saja, saya langsung pamerkan selada saya yang berhasil ditanam lewat metode hidroponik ini,” bebernya ditemui di Hani Farm dan Urban Farming Learning Center Samarinda tengah pekan lalu.
PIONIR: Tak ingin menelan ilmu sendirian, Ginanjar pun aktif menjadi pembicara dalam berbagai pelatihan. Hingga akhirnya bermetamorfosis menjadi pionir dalam mengenalkan budi daya hidroponik di Samarinda.
Tak ingin menelan ilmu sendiri, terlintas di pikiran Ginanjar untuk melakukan pelatihan hidroponik dan mengenalkannya kepada masyarakat Samarinda. Tak sampai satu tahun, niatan baiknya terealisasi. Ginanjar membuat pelatihan yang mengundang pakarnya langsung.
“Pada saat itu, di Samarinda belum ada sama sekali pelatihan hidroponik. Bahkan bisa dikatakan pertama kali di Kalimantan Timur. Kalau yang membudidayakan, di Balikpapan sudah ada satu dua orang, tapi pelatihannya belum sama sekali,” tambahnya.
Tak disangka, antusias masyarakat Samarinda benar-benar tinggi. Bahkan Ginanjar sempat kewalahan karena yang ingin berpartisipasi melebihi batas kuota dari 40 orang. Dalam waktu singkat, Ginanjar bermetamorfosis menjadi pionir dalam pengenalan budi daya hidroponik di Samarinda.