Demi Masa Depan, Selamatkan Lingkungan

- Kamis, 16 April 2020 | 13:18 WIB

Oleh : Bambang Karyanto (Pemerhati Lingkungan)

 

Akibat manusia yang kurang peduli dengan lingkungan, alam sering menunjukkan perangainya. Bencana terjadi di mana-mana. Banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, akrab dengan negeri ini. Semua itu tiada lain lantaran ulah manusia yang rakus, mengeksploitasi tambang tanpa dibarengi reklamasi, membakar lahan-lahan untuk kebun sawit, karet, sehingga setiap tahun Indonesia rutin mengekspor kabut asap ke negeri tetangga.

 

ALAM semakin sulit ditebak. Dulu, berdasarkan perhitungan, biasanya pada bulan-bulan yang berakhiran er adalah musim hujan, waktu yang tepat bagi para petani bercocok tanam. Namun, belakangan hal tersebut tidak bisa lagi dijadikan patokan. Ritme musim kemarau dan hujan sudah tak jelas. Dampaknya, petani kerap gagal panen. Tidak jarang padi yang sebentar lagi dituai tiba-tiba tenggelam diterjang banjir. Jika dibiarkan berlarut-larut, anak-cucu kelak tak bisa menikmati alam, rentan terhadap berbagai bencana. Sebab, keteledoran hidup pada  zaman sekarang dalam memelihara alam, tanpa sadar telah mewariskan sumber­-sumber petaka ke mereka.

Kealfaan generasi terdahulu dalam menjaga kekayaan flora dan fauna hendaknya jadi pelajaran bagi semua, agar tidak mengulangi hal serupa. Entah berapa banyak jenis tanaman dan margasatwa khas Kalimantan kini cuma tinggal kenangan. Generasi sekarang hanya tahu dari cerita-cerita orangtua, tapi tak pernah melihat bagaimana wujud pohon ginalun, ulin, kasturi, buah rambai, apalagi burung enggang. Akhir-akhir ini, binatang tenggiling, bekantan, menjangan, dan pilanduk juga semakin langka. Kalau tidak segera mengambil langkah pelestarian, berbagai keragaman hayati itu bakal punah. Sebelum kerusakan alam semakin parah, mari menyelamatkan bumi. Sekecil apapun kontribusi, ikut andil menggalakkan penghijauan sudah tindakan positif. Gerakan cinta lingkungan tidak boleh “angin-­anginan”, harus berkesinambungan dan totalitas tanpa batas.

Ada lima tahapan yang perlu diterapkan. Pertama, mencari akar masalah penyebab kerusakan lingkungan. Kedua, memahami dampak-dampak yang ditimbulkan. Ketiga, upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengantisipasinya. Keempat, menyosialisasikan kepada masyarakat luas agar mendapat dukungan banyak pihak. Terakhir, stop izin tambang dan perkebunan, sawit, karet, segera lakukan tindakan nyata. Tak dimungkiri, pemicu terbesar bencana alam adalah karena gundulnya hutan-hutan. Akibatnya, ketika hujan deras, tidak ada yang menahan air. Banjir kiriman dari dataran tinggi menyerbu daerah-daerah rendah. Tak terhitung peristiwa nahas seperti ini terjadi di Kalimantan, tapi masih acuh dengan lingkungan.

Dari hasil penelitian yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), setiap tahun Indonesia kehilangan 1,09 juta hektare hutan. Termasuk kawasan Kalimantan yang dulu pernah dicanangkan sebagai paru-paru dunia, ternyata tak luput dari keberingasan mesin gergaji, alat-alat berat, baik yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar maupun perorangan. Kadang pemilik HPH, PBS, PKP2B, juga ikut menyalahgunakan izin resmi mereka dengan merambah lahan di luar peruntukan. Belum lagi ulah pembalak liar yang seenaknya menebang pohon-pohon.

Ironisnya, perusakan alam tersebut justru dibekingi oknum aparat hukum. Berita persekongkolan semacam itu sudah kelewat sering didengar. Karena merasa dilindungi, para penjarah hutan jadi makin berani. Kalaupun ada razia, yang ditangkap pekerja lapangan, sementara cukong besarnya tak tersentuh hukum. Ke depan, kalau memang serius ingin memerangi illegal logging, illegal mining, hukum harus benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh penambangan batu bara, pembukaan lahan sawit dan karet, tak kalah dahsyatnya. Sementara di Kalimantan, bisnis itu amat marak karena menjanjikan keuntungan besar. Padahal, untuk proses reklamasi dibutuhkan waktu ratusan tahun, baru bekas lahan tersebut bisa berfungsi kembali. Celakanya pula, tak sedikit perusahaan tambang yang nakal dengan membiarkan lubang-lubang raksasa itu menganga. Mungkin sekarang dampaknya belum terasa, tapi nanti, sekian puluh tahun ke depan anak-cucu kita yang akan menanggung segala macam penyakit dan kerugian. Sementara pemilik perusahaan yang mengeksploitasi alam Kalimantan, andai terjadi bencana, mereka gampang saja ngacir ke daerah asal. Sebab, mereka tidak menetap di sini.

Mengingat itu semua, mestinya pemerintah berpikir ke depan. Mempertimbangkan secara matang sisi kurang dan lebihnya. Jangan sekadar melihat dari segi pemasukan terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Terlebih, pembagian atau kontribusi untuk daerah hanya 20 persen. Seharusnya, sebagai pemilik aset pemerintah, Kaltim dan Kaltara punya posisi tawar yang tinggi dan memperketat pemberian izin tambang, perkebunan kelapa sawit, karet. Ingat, nilai kelestarian lingkungan patut diperhitungkan.

Begitupun pengawasan perlu lebih ditingkatkan. Sebab, masih ada perkebunan sawit, karet, dan penambang yang tidak memerhatikan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Mereka yang mau mengeruk keuntungan dan mengabaikan tanggung jawab sosial, sepantasnya diberi sanksi berat. Masalahnya, rata-rata para pengusaha tambang, sawit, dan karet punya jaringan luas, termasuk dengan aparat hukum. Mereka tak segan mengeluarkan uang asal aktivitas mereka tidak diusik. Bermodal kekayaan untuk mengendalikan segalanya. Setor upeti setiap bulan ke oknum aparat, saya kira bukan hanya terjadi di perusahaan besar Freeport di Papua, di Kalimantan, praktik serupa mungkin sudah lama berlangsung. Namun, belum terungkap.

Itu perlunya penguatan peran LSM dan wartawan untuk membongkar aktivitas penambangan, perkebunan sawit, dan karet yang menyalahi aturan. Terlebih saat terjadi pencemaran lingkungan yang mengakibatkan warga sekitar mengalami gangguan kesehatan. Media massa tak boleh tinggal diam apalagi “tutup mata”. Harus berpihak membela kepentingan publik, bukan malah tunduk pada ambisi segelintir orang. Namun, godaan untuk menjadi aktivis lingkungan atau jurnalis idealis itu juga tak kecil dan memiliki punya nyali besar.

Beberapa waktu lalu saya sempat membaca hasil wawancara direktur LSM lingkungan Kaltimtara di sebuah koran lokal, katanya tidak sedikit aktivis lingkungan yang ditawari iming-iming gaji dan berbagai fasilitas menggiurkan, asal berhenti mempersoalkan kerusakan lingkungan. Kalau tak punya prinsip yang kuat, pasti sudah lama membelot dan jadi kaki tangan yang tak peduli pada kelestarian lingkungan.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X