Jauh pada masa penjajahan Belanda dahulu, tumbuh perkampungan yang dikenal dengan nama Handel Maatschappij Borneo Samarinda (HBS). Lokasinya berdekatan dengan Pasar Pagi. Dikenal sebagai pusat perdagangan sejak 1900-an bahkan hingga detik ini. Inilah kisah sejarah Kota Tepian yang tak berjejak.
DISEBUTKAN dua nama, Sultan Sayyid Abdurrasyid dan Samsudin Barack. Disebut sebagai generasi pertama pada keturunan masing-masing keluarga besar. Mereka tidak ada hubungan keluarga. Setelah terlahir generasi selanjutnya dan bertemu di kampung HBS pada awal 1900-an, dua keluarga tersebut membentuk hubungan keluarga secara alamiah. Beberapa keturunan mereka terikat dalam jalinan perkawinan.
Rumah H Armain: Di kampung HBS, ada seseorang yang menekuni bisnis taksi. Dialah H Armain. Dia memiliki sekitar 5-6 buah taksi dan beberapa sopir. Kala itu, jadi transportasi andalan.
Kegiatan sosial dan ekonomi Samarinda bemula pada awal 1900-an. Kehidupan cukup stabil karena mata uang Gulden Belanda tinggi. Harga barang kebutuhan cukup murah. Pribumi yang mendapat gaji Rp 100 pun terasa cukup. Namun tetap saja gaji para penjajah alias Belanda tetap lebih tinggi dari pribumi meski posisi mereka di perusahaan Belanda sama. Di dunia perdagangan, pedagang Tionghoa pun lebih diprioritaskan. Merasakan ketidakadilan tersebut, timbul ketidakpuasan. Kalangan terpelajar dan yang bergerak di bidang perdagangan berencana memiliki badan usaha yang terdiri dari kaum bumi putra.
Rumah H Anwar Barack: Iswan diceritakan oleh kakeknya, Anwar bahwa rumah tersebut sudah direhab sebanyak tiga kali dan usianya sudah ratusan tahun. Tetap berdiri kukuh saat itu.
Banyak perusahaan Belanda berdiri seperti di bidang perminyakan dan batu bara. Belanda juga banyak bekerja sama dengan Tiongkok. Di bidang perkayuan, Jepang tak mau ketinggalan. Pedagang menengah dan eceren berasal dari warga Tionghoa, India, dan Arab. Pedagang terkenal di Samarinda seperti H Abdurrahim, HM Arieph Said, H Seman Saad, H Butut, Ali Barack, Anang Matarip, H Sulaiman, dan A Abdul Gani ingin menyaingi pedagang asing tersebut.
Hingga akhirnya resmi berdiri NV Handel Maatschappij Borneo Samarinda (HBS) pada 14 November 1908 yang bergerak di bidang rotan, damar, dan kulit peraca. Dulu juga sempat didirikan koperasi dan H Matali yang mengelola. Direktur NV HBS saat itu adalah Muhammad Seman (H Seman Kerani). Belanda mulai mencari cara untuk menjatuhkan persekutuan dagang HBS dan berakhir bubar pada 1940-an (Kampoeng HBS: Kampung Pejuang dan Saudagar, Hamdani dan Untoro Raja Bulan, 2005).
Awak Kaltim Post pun menghubungi salah satu warga yang pernah memiliki pengalaman tinggal di kampung HBS. Dialah Iswan Priady. Ayahnya dari Sangkulirang dan ibunya dari kampung HBS. Iswan adalah cucu H Anwar Barack. Pada 1967-1968, kakeknya pernah bercerita kalau rumahnya sudah direhab sebanyak tiga kali dan berusia 200 tahun. Seingatnya, semua rumah di kampung HBS terbuat dari ulin. Saat itu, mendapatkan air bersih juga masih sulit. Sehingga banyak cara harus dilakukan.