Kampung HBS, Bermulanya Organisasi Keagamaan, Pers hingga Pendidikan

- Kamis, 16 April 2020 | 10:30 WIB
KENANGAN: Sisa inilah kenangan yang dimiliki Faisal. Rumah semasa di Kampung HBS yang sudah dibongkar, meski terlihat sederhana, di tempat ini ada hal-hal serta pemandangan yang nyaris mustahil untuk dia saksikan lagi. (DOKUMENTASI MUHAMMAD FAISAL)
KENANGAN: Sisa inilah kenangan yang dimiliki Faisal. Rumah semasa di Kampung HBS yang sudah dibongkar, meski terlihat sederhana, di tempat ini ada hal-hal serta pemandangan yang nyaris mustahil untuk dia saksikan lagi. (DOKUMENTASI MUHAMMAD FAISAL)

CERITA lain datang dari Abdul Rachim Siraj atau Rachim. Dia juga menghabiskan masa kecil di kampung HBS. Dia ingat betul kalau kampung HBS identik dengan perdagangan. Sepengetahuannya, kampung HBS saat zaman perang jadi markas pasukan Republik Indonesia. Terutama saat penjajahan Jepang. Banyak pejuang berkumpul dan menyembunyikan senjata. Salah satu tokohnya adalah Muhran Ismail yang pernah jadi kepala RRI Samarinda.

Namun, suasana saat itu juga dekat dengan keagamaan. Sehingga, kegiatan keagamaan tak kalah semaraknya. Kemudian, berdirilah organisasi keagamaan. Salah satunya pengajian untuk ibu-ibu bernama Al-Umahat. Seminggu sekali, melaksanakan pengajian, selawat, atau diba. Rumah HM Saleh jadi musala khusus keluarga HBS. Di sana sering diadakan ceramah agama oleh para ulama seperti Guru Parhan, Guru Ridwan Syahrani, Guru Majedi Effendi, dan H Abdullah Marisi.

-

TEMPAT MANDI:Dahulu, sungai jadi andalan. Termasuk untuk aktivitas mandi, cuci, kakus. Apalagi saat itu Sungai Mahakam masih sangat bersih. Sehingga, airnya banyak digunakan untuk kebutuhan warga. SUMBER: DOKUMENTASI PRIBADI ISWAN PRIADY

 

“Laki-lakinya membaca diba kalau malam. Itu sempat saya alami. Organisasi keagamaan itu sudah terbentuk sekitar 1965-an. Ada beberapa nama ulama lain juga seperti KH Abdul Samad, KH Siraj Salman,” ungkap Rachim saat dihubungi awal pekan lalu.

Rachim adalah anak kandung KH Siraj Salman. Salah satu tokoh terkenal di kampung HBS pada 1970-an. Saat mengenang ayahnya, diceritakan kalau dulu Siraj pernah masuk ke Partai Masyumi dan jadi anggota dewan. Sebelumnya dia pernah menimba ilmu di Makkah selama sepuluh tahun. Saat partai tersebut bubar, barulah bergabung ke Muhammadiyah. Dari situ dikenal sebagai ulama yang aktif bertahun-tahun di ormas keagamaan. Berkat keaktifan dan ilmu agama, Siraj sering diminta mengisi ceramah di berbagai tempat. Sekaligus mengajar di IAIN dan Pendidikan Guru Agama (PGA) Islam.

Kala itu, Rachim melihat bahwa warga-warga di kampung HBS sudah mulai sadar untuk membentuk wadah di mana warga bisa berkumpul. Dalam rangka memberdayakan masyarakat. Sebab banyak bidang berkembang pada masa itu. Selain keagamaan, juga ada bidang pers. Awal 1923, Samarinda sudah punya dua koran bernama “Persatoean” dan “Perasaan Kita”. Directeur dan hoofdredacteur-nya Persatoen adalah Maradja Sajueti Loebis dan directeur dan hoofdredacteur dari “Perasaan Kita” adalah Anang Atjil Kasuma Wira Negara.

“Perasaan Kita” pernah berganti nama dua kali menjadi “Bendahara Borneo” dan “Soera Rakyat Kalimantan” atau “Sorak”. Beberapa tahun kemudian, “Sorak” tak terbit lagi dan surat kabar sempat menghilang. Kemudian pada 1934, ada majalah bulanan bernama “Sinar Kemajoean” dipimpin S Hamid Alkaff dan pada 1935 muncul surat kabar bernama “Pewarta Borneo” yang dipimpin oleh Oen Hong Song.

-

TAKSI JAMBAN: Zaman dulu di kampung HBS, warganya juga punya alat transportasi populer. Inilah taksi jamban. Merupakan modifikasi Jeep Willys. Warga yang baru pulang berbelanja dari Pasar Pagi, banyak memakai itu. SUMBER: DOKUMENTASI PRIBADI ISWAN PRIADY

Selain itu, ada lagi koran “Pancaran Berita” yang dipimpin Anang Atjil Arieph yakni paman dari Fuad Arieph yang pernah menjabat sebagai pemimpin umum “Swara Kaltim” serta Oemar Dahlan, redaktur “Pancaran Berita”. Kala itu, ada seseorang bernama Badrun Arieph. Dia direktur NV tapi juga menerbitkan koran “Masjarakat Baroe” dan menjabat sebagai pemimpin umum. Surat kabar itu berhenti setelah NV Perdi bubar.

Di bidang pendidikan saat zaman penjajahan juga ada beberapa sekolah di Samarinda. Selain TK yang dipimpin dan dikelola oleh Ny Aminah Syukur, ada beberapa setingkat SD seperti Sekolah Dasar Negeri (SDN) bagi orangtua pribumi yang berpenghasilan di bawah 100 rupiah Belanda, Hollandsch Inlandsche School (HIS) bagi orangtua pribumi yang penghasilannya di atas 100 rupiah Belanda, Hollandsch Chinesche School (HCS) untuk Tionghoa peranakan, Chung Hua Chung Hui untuk Tionghoa asli, Eropesche Lagere School (ELS) untuk anak Belanda, NEUTRALE SCHOOL yang didirikan HA Badrun Arieph dan masih banyak lagi serta SMA 1 Samarinda. (Kampoeng HBS: Kampung Pejuang dan Saudagar, Hamdani dan Untoro Raja Bulan, 2005).

“Kesan selama di sana pasti eratnya suasana kekerabatan dengan semua kalangan. Terutama dengan warga Tionghoa. Kalau masih SD itu juga enggak terlupakan tiap pulang sekolah langsung berenang ke sungai Mahakam, pulangnya bisa sampai sore,” pungkas Rachim tertawa. (*/ysm/rdm2)

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X