Kapolri Nilai Kritik Hukum Penghina Presiden Wajar

- Kamis, 9 April 2020 | 14:00 WIB
Kapolri dan Presiden
Kapolri dan Presiden

JAKARTA— Polri merespon kritikan proses hukum terhadap terduga penghina presiden. Kapolri Jenderal Idham Aziz menilai pro kontra dalam sebuah penegakan hukum merupakan hal any wajar.

Idham menegaskan bahwa bila ada pro kontra dan ketidakpuasan, tentunya ada mekanisme yang bisa ditempuh. “Untuk para tersangka memiliki hak untuk mengajukan gugatan sidang praperadilan.”sudah ada mekanismenya,” terangnya dalam keterangan tertulisnya.

Penegakan hukum terhadap penghina presiden terus berlanjut. Setelah pemilik akun Ali Baharsyah ditangkap Bareskrim, Kini Polda Kepulauan Riau juga menangkap terduga penghina presiden berinisial WP di Kampung Bugis, Tanjung Pinang.

Kabidhumas Polda Kepulauan Riau Kombespol Harry Goldenhardt menuturkan, WP membuat komentar di sebuah akun bernama Abd Karim. Meme dan status tersebut untuk menyindir presiden. “dari pemeriksaan diketahui motifnya tidak menyukai presiden,” ujarnya.

Sejak diterbitkan, aturan terkait penghinaan terhadap presiden maupun pejabat yang dikeluarkan kepolisian menuai polemik. Pengamat menilai penerbitan aturan itu sendiri menyalahi konstitusi.

Sehingga seharusnya sejumlah kasus yang sedang diproses sekarang tidak bisa dilanjutkan atau akan melanggar konstitusi itu sendiri.Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengecam diberlakukannya aturan tersebut dan meminta penghentian proses hukum terhadap orang yang menggunakan hak berekspresi secara sah. Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menjelaskan bahwa aturan tersebut menabrak putusan Mahkamah Konstitusi. Polisi menggunakan dasar KUHP dan UU ITE untuk menindak masyarakat.

Namun tindak pidana penghinaan presiden atau pejabat sendiri tidak dikenal dalam hukum di Indonesia. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 membatalkan pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan kasus-kasus penghinaan Presiden. Antara lain pada Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 ayat (1).

"MK menegaskan bahwa perbuatan kriminalisasi terhadap penghinaan presiden tidak lagi relevan diterapkan dalam masyarakat demokratis," jelas Erasmus. Ketentuan pidana apa pun mengenai penghinaan terhadap penguasa terkait kelembagaannya tidak dapat digunakan untuk melindungi kedudukan Presiden.

Kemudian penggunaan pasal 28 ayat (2) UU ITE dalam kasus-kasus dugaan penghinaan presiden saat ini juga dianggap salah sasaran. Ujaran kebencian sebagaimana dimaksud dalam pasal di atas, lanjut dia, hanya ditujukan untuk ungkapan yang berisi provokasi terhadap hal-hal tertentu. Yakni suku, agama, ras, antar golongan (SARA) yang dilakukan dengan maksud menghasut. Dia menegaskan pasal tersebut tidak tepat digunakan untuk penghinaan individu apalagi penguasa.

ICJR meminta agar aparat menghentikan proses hukum yang berkenaan dengan penghinaan Presiden tersebut. Di samping melawan konstitusi, tindakan tersebut dinilai sebagai upaya membungkap kemerdekaan berekspresi dan menimbulkan iklim ketakutan. "Lebih memprihatinkan, polisi secara terbuka melawan putusan MK," terangnya. (Idr/deb)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Garuda Layani 9 Embarkasi, Saudia Airlines 5

Senin, 22 April 2024 | 08:17 WIB
X