Perlu Petakan Lebih Jeli Produksi dan Impor

- Kamis, 9 April 2020 | 13:38 WIB
ilustrasi ketersediaan bahan pokok
ilustrasi ketersediaan bahan pokok

JAKARTA- Pemerintah diminta mengantisipasi lebih jeli terkait ketersediaan bahan pokok yang ada di pasar selama masa pandemi Korona. Sebab, jika dilihat dari kondisi melambungnya harga bawang putih dan gula yang sedang terjadi, banyak pihak yang menganggap baha kenaikan terjadi karena keterlambatan pemerintah menambah pasokan.

Peneliti Center for Food, Energy, and Sustainable Development Indef Dhenny Yuartha Junifta mengatakan bahwa produksi pangan menjadi salah satu faktor yang patut diperhatikan pemerintah dalam masa krisis Korona. Meskipun diketahui pemerintah sudah menambah pasokan untuk komoditas yang pasokannya kurang seperti bawang putih dan gula, menurut Dhenny hal tersebut belum cukup. ”Pemanfaatan pasokan tersebut tentu berbeda karena saat ini Indonesia belum selesai menghadapi serangan virus Korona,” ujar Dhenny, kemarin (8/4).

Dhenny juga mengingatkan bahwa dalam kondisi Indonesia yang tengah mengantisipasi penularan virus, tidak menutup kemungkinan ada penurunan produktivitas pertanian yang cukup signifikan karena para petani juga mengurangi aktivitas. “Bulan Maret sampai April adalah jadwal panen pertama. Nah, masalahnya ketika pandemi buruh-buruh pertanian yang akan memanen pertaniannya akan terhambat karena pembatasan-pembatasan yang dilakukan seperti mengurangi aktivitas keluar,” tambah Dhenny.

Meski data Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa stok pangan terjamin hingga Agustus mendatang, namun menurut Dhenny hal ini dapat terganjal dengan berbagai tantangan selama pandemi berlangsung. ”Pertama, tantangan produksi iklim, karena ada beberapa riset yang menunjukkan adanya risiko kegagalan panen. Yakni ada sekitar 19 persen penurunan panen biji-bijian seperti padi, gandum, jagung dan kedelai, akibat perubahan iklim, sehingga meningkatkan probabilitas penurunan kemampuan produktivitas produk pertanian,” urainya.

Selain itu, lanjut Dhenny, volatilitas harga juga menjadi tantangan lainnya, terutama menjelang bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri mendatang. Menurut dia, Indeks Ketahanan Pangan di berbagai provinsi di pulau Jawa masih baik atau masuk dalam Prioritas 1, namun yang menjadi masalah adalah wilayah di luar pulau Jawa. ”Misalnya pada wilayah-wilayah di Indonesia Timur dan sebagian provinsi yang Indeks Ketahanan Pangan-nya masuk dalam Prioritas 3, mereka dapat pasokan dari mana itu susah," beber Dhenny.

Ditambah dengan sekarang pemerintah yang memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Dhenny menegaskan bahwa masalah produksi dan distribusi harus dikaji dan ditargetkan dengan jeli. Untuk urusan impor, Dhenny juga menganggap bahwa penanganan importasi pangan masih terkendala rantai birokrasi yang cukup panjang. ”Maka pemetaan pasokan dan distribusi saat ini harus menjadi prioritas utama, agar akses pangan terus terjaga hingga pandemi berakhir,” pungkasnya.

Sementara itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) turut melakukan pengawasan tidak hanya pada ketersedian stok namun juga pada harga bahan pokok. Khususnya untuk komoditas bahan pokok seperti gula, beras, daging sapi dan ayam, telur, dan sebagainya.

Anggota KPPU Guntur Saragih mengatakan bahwa selama pandemi virus corona ini, pihaknya menemukan adanya lonjakan harga gula di pasaran. Menurut Guntur, ada beberapa hal yang disinyalir menjadi penyebab kenaikan harga gula. Salah satunya karena pemerintah telat melakukan impor. “Salah satu kajian internal kami menemukan bahwa ada persoalan terkait dengan mahalnya harga gula di masyarakat. Lonjakan dapat terjadi karena permasalahan data produksi nasional yang kurang tepat, hambatan logistik di masa wabah COVID-19, dan perilaku pelaku usaha sendiri,” tegas Guntur.

Menurut Guntur, kebutuhan gula nasional hingga Lebaran tahun ini dapat mencapai 1,14 juta ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 650 ribu ton dipenuhi stok akhir tahun lalu, sementara sisanya sekitar 500 ribu ton diperoleh dari impor. Namun, KPPU menilai bahwa surat persetujuan impor (SPI) terlambat dikeluarkan. Diketahui Kementerian Perdagangan memang sudah mengeluarkan Surat Perizinan Impor (SPI) sebesar 438,8 ribu ton untuk gula kristal merah yang digunakan sebagai bahan baku gula kristal putih untuk konsumsi. Namun surat tersebut baru diterbitkan pada 3 Maret 2020 lalu. “SPI-nya baru terbit di Maret, untuk 400.000 ton lebih. Tentunya dari SPI butuh waktu realisasi. Karena itu memang tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, penerbitan SPI memang tergolong telat,” jelas Guntur.

Padahal menurut Guntur, jumlah kuota impor gula yang tertera dalam SPI seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun karena penerbitan SPI terlambat, realisasi impor masih minim hingga saat ini. Kurangnya pasokan tersebut mengakibatkan sejak 24 Maret 2020, harga gula pasir di seluruh propinsi berada di atas harga eceran tertinggi di tingkat konsumen. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga gula berada di kisaran Rp 18.000 per kg di pasar tradisional, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi di tingkat konsumen yang berada pada harga Rp 12.500 per kg.

KPPU menilai seharusnya pemerintah bisa mengeluarkan izin tersebut lebih awal. Sebab besaran kebutuhan telah diketahui sejak awal tahun. Bahkan, pemerintah bisa melakukan bantuan pembiayaan agar Bulog atau BUMN dapat segera merealisasikan impor gula dalam waktu singkat. ”KPPU berharap realisasi impor bisa terjadi dalam waktu secepatnya untuk menghindari mahalnya harga gula dan mengantisipasi kerugian petani tebu yang akan melakukan panen pada semester kedua. Jika impor tertunda dan justru terealisasi pada saat panen tebu, maka harga akan jatuh di tingkat petani,” pungkasnya. (agf)

 

Gambaran Target Stok Bahan Pokok di Indonesia

 

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X