SAMARINDA–Keberadaan pasar malam bisa dilepaskan dari kehidupan Kota Tepian. Pembatasan jarak fisik membuat keberadaannya lenyap lantaran kehadirannya memantik berkumpulnya warga. Jika berlangsung lama, warga yang menggantungkan nafkah dari pasar malam bisa menjerit.
Keluhan itu diakui wakil rakyat di Basuki Rahmat, sebutan DPRD Samarinda, sudah didengar. Kendati begitu, diakui Sutrisno, anggota Komisi II DPRD Samarinda, mereka tak bisa berbuat banyak mengawal aspirasi masyarakat karena situasi gawat darurat Covid-19 ini.
“Hasil koordinasi dengan Disdag (Dinas Perdagangan), disediakan opsi untuk menempati lapak di pasar-pasar tradisional,” ucapnya dikonfirmasi.
Di Pasar Segiri misalnya, tersedia 30 lapak yang bisa diisi pedagang pasar malam. Di Pasar Merdeka tersedia 110 lapak yang tersedia sepanjang status kejadian luar biasa (KLB) ini. “Jika sudah berakhir, bisa kembali ke aktivitas awal,” sambungnya.
Ke depan, para legislator di Komisi II, aku politikus PDIP Samarinda ini, akan menyusun peraturan daerah (perda) yang memayungi keberadaan pasar malam. Sejauh ini, keberadaan pasar malam yang tersebar seantero Samarinda tak memiliki payung hukum sehingga ada potensi pendapatan asli daerah yang tak bisa diraup pemerintah.
Dengan perda, keberadaannya bisa dikelola secara jelas sesuai aturan dan tak menimbulkan berbagai polemik seperti kemacetan atau penumpukan sampah karena telah memiliki rujukan pengadaannya. “Pemerintah bisa dapat PAD, pedagang bisa aman berjualan karena memiliki dasar hukum dan bisa lepas dari pungli tak jelas,” sambung Tris, begitu dia disapa.
Dari verifikasi awal dewan, terdapat lebih 2 ribu warga Samarinda yang mengais nafkah dari berdagang di pasar malam. Semua jelas tak bisa terakomodasi dengan kebijakan sementara, selama pencegahan pandemi corona dan mengutamakan pedagang yang berjualan bahan-bahan pokok agar kebutuhan primer bisa terpenuhi sepanjang pandemik. “Untuk yang mengandalkan usaha berdagang di pasar malam, aturan hukum masih kami bahas bersama pemkot,” singkatnya. (ryu/dns/k8)