Sebelum mengenal pusat perbelanjaan modern seperti sekarang. Dahulu kehadiran eskalator atau tangga berjalan jadi satu teknologi yang membuat penasaran. Ragam hiburan juga ditempatkan dalam satu tempat bernama mal. Sejak 80-an, mulai berdiri mal di Samarinda. Sebut saja Mesra Indah, Plaza Samarinda, Samarinda Central Plaza (SCP), dan Lembuswana. Berikut penggalan cerita bermulanya geliat perdagangan modern di Samarinda.
GEDUNG putih yang masih berdiri di Jalan KH Khalid menjadi pusat perbelanjaan pertama di Samarinda. Bangunan itu diresmikan pada dekade 1980-an dengan mengadopsi nama Mesra Indah milik pengusaha H Rusli. Saat ini terdiri dari empat lantai, lantai pertama didominasi aneka sepatu-sandal, camilan dan toko bunga. Kemudian lantai dua diisi mainan anak-anak dan busana, lantai tiga ragam aksesori, dan ketiga mayoritas aneka makanan.
Diakui Eka Mahkona, Mesra Indah dulunya jadi andalan warga. Perempuan 60 tahun itu membuka toko yang masih ada hingga kini. Kona, sapaan akrabnya memiliki toko emas sejak 1989-an. “Dulu jualan baju sehari-hari. Ada baju tidur pria, anak-anak, perempuan. Ada juga busana buat jalan tapi khusus perempuan. Kalau enggak salah mal ini direnovasi pas 1990-an, lebih luas, dan mulai dilengkapi pendingin ruangan. Enggak lama setelah direnovasi, saya juga ganti jadi jual emas,” jelasnya saat diwawancara pada Jumat (3/4).
Dalam ingatannya, Kona menggambarkan kondisi Mesra Indah pada 1980-an itu kurang lebih seperti toko biasa. Tidak ada pintu masuk, dari depan Anda sudah bisa menyaksikan jejeran toko. Dulu Kona berjualan di deretan belakang dekat tangga. Terdiri dari dua lantai, lantai teratas difungsikan sebagai aula pertemuan.
“Kalau dibandingkan dulu ya pastinya enakan sekarang, tempatnya lebih nyaman, luas, dan bersih. Tapi, kalau masalah keramaian, saya rasa dulu lebih enak. Sebab, masih jadi primadona warga sekitar,” ucapnya.
Menurut pengakuan Kona, masa kejayaan Mesra Indah ada sebelum 1999. Tatkala mal ini menjadi satu-satunya pusat perbelanjaan. Ditambah lagi letaknya dikelilingi Pasar Pagi dan Citra Niaga. Memang daerah perdagangan sejak dulu kala.
“Dulu itu ramainya luar biasa. Saya rasa orang kalau mau belanja ya larinya ke daerah sini. Kalau mau belanja kebutuhan seperti sembako perginya ke Pasar Pagi. Kalau busana, atau kebutuhan lainnya ke mal. Tapi sekarang sudah sepi, jumlah yang datang bisa dihitung jari,” keluhnya.
Diwawancara terpisah, Zainal Abidin juga mengakui jika pengunjung saat ini tak seramai pada dekade 1990-an. Namun hal ini tak terlalu berdampak padanya yang berjualan kebutuhan sembako di luar mal, tepatnya seberang Mesra Indah.
“Enggak begitu mengaruh ke saya. Orang-orang lalu lalang juga masih ada yang singgah untuk beli,” tuturnya. Zainal sudah berdagang sejak 1998. Tak seperti sekarang berjualan sembako, dulu dia hanya pedagang keliling, berjualan teh dan kopi. Meski lebih sepi, pria 40 tahun itu menjelaskan ada waktu-waktu tertentu mal ini ramai. Mendekati Hari Raya Idul Fitri misalnya.
Tak lama setelah Mesra Indah beroperasi, didirikanlah mal bersejarah kedua sekitar 1999 yakni Lembuswana. Terletak di Jalan Mayor Jendral S Parman, di jantung kota. Mulai toko buku terkenal, swalayan, toko kacamata, makanan, mainan, alat musik, hingga aneka busana. Salah satunya Toko Busana Muslim Maisyita.
Dijelaskan Sri Sumarni, toko tersebut sudah berdiri sejak 2002. Perempuan yang akrab disapa Marni itu mengatakan jika sebelum 2002, jualannya masih emperan. “Saya bukan owner, pemiliknya ada di Balikpapan. Tapi sudah bekerja sejak Maisyita pertama kali dibangun. Jadi, setidaknya tahu sedikit perkembangan toko atau mal ini. Dulunya jualannya juga enggak setiap hari. Saat Ramadan saja,” ucap Marni.
Menurut ingatannya, masa kejayaan mal itu ada pada sekitar empat atau lima tahun silam. Pada masa itu, Lembuswana khususnya Toko Maisyita ramai dikunjungi. Seiring berjalannya waktu, semakin berkurang hingga berdampak pada pendapatan toko.